Eliza, Computer Therapist
Sebuah program yang dibuat oleh Eliza, Rogerian psychotherapist. Eliza membuat program di manifestation.com yang bertujuan untuk konsultasi. Seperti chat pada umumnya, dalam programnya hanya membuat klien untuk bercerita tentang dirinya dan masalahnya. Sehingga membuat klien untuk melepaskan penatnya secara tidak langsung. Walaupun yang merespon chat klien hanya-lha program tetapi ini sudah sangat membantu ketika seseorang yang tidak memiliki teman untuk konsultasi atau dalam bahasa Indonesia “curhat”. Untuk lebih jelas ini alamat websitenya http://www.manifestation.com/neurotoys/eliza.php3
Tujuan : Membantu seseorang untuk menceritakan atau mengeluarkan masalahnya
Cara Kerja : Hanya mengetik seperti chat pada umumnya (YM, Facebook Chat, MSN, dll)
Kelebihan :
• Mudah di akses
• Gratis
• Rahasia terjamin
• Cara kerjanya sangat mudah
• 24/7 non stop
• Praktis
Kekurangan :
• Respon chat menggunakan bahasa Inggris
• Harus memiliki akses internet
Manfaat : Dapat berkonsultasi kapan pun dimana pun, dan meringankan beban masalah dengan bercerita
Skoring Test Program
Seperti diketahui, laporan psikologis yang komprehensif sangat dibutuhkan oleh psikolog dalam menyajikan gambaran yang tepat berkaitan dengan subjek yang dianalisa, namun dalam prosesnya, terkadang hasil-hasil dari tes-tes psikologi seringkali dilakukan dengan proses dan prosedur yang cukup rumit. Berbagai kombinasi hasil tes psikologi seringkali harus diintegrasikan sehingga dapat sebagai bahan utama dalam mengambil kesimpulan mengenai gambaran tepat mengenai keadaan subjek.
Proses skoring tes, analisa standar mengenai tiap-tiap tes dan prosedur standar dalam melakukan koreksi tersebut yang kami lakukan dengan proses otomatisasi, sehingga psikolog akan sangat terbantu dengan berkurangnya aktivitas administratif sehingga dapat secara cepat dan tepat menganalisa dan mengambil suatu rekomendasi terhadap laporan psikologis tersebut.
Skoring Test terkadang menyulitkan Psikolog dalam menginterpretasikan suatu kepribadian, intelegensi atau IQ seseorang. Kesalahan dalam skoring manual juga sering ditemui oleh para Psikolog. Skoring manual pun memakan waktu, apalagi jika yang di skoring sangat banyak. Tentu ini menjadi pekerjaan yang menjemuhkan bagi Psikolog. Dan sekarang dunia digital telah membantu Psikolog dalam skoring alat test. Karena kemajuan IT membuat program komputerisasi untuk skoring alat tes psikologi.
Program skoring test ini pun beragam, salah satu contohnya :
Tujuan : Skoring berbagai alat tes psikologi
Cara Kerja : Setiap program skoring test ini memiliki cara yang berbeda beda
Kelebihan :
• Mempermudah proses skoring test psikologi
• Praktis
• Kesalahan dalam skoring dapat berkurang karena pengerjaan oleh komputerisasi
• Lebih cepat daripada skoring manual
Kekurangan :
• Lisensi program ini mahal
• Butuh latihan dan kursus untuk mendalami program ini
Manfaat : Mempermudah skoring alat test psikologi, menghemat waktu dan meminimalisasi kesalahan
SPSS (Statistical Product and Service Solution)
SPSS adalah program statistika, program komputer ini berfungsi untuk menganalisa angka angka atau data data yang telah diperoleh dalam suatu penelitian. SPSS juga sering disebut sebagai PASW (Predictive Analytics SoftWare). Program statistik ini sangat membantu Psikolog, khususnya para peneliti. Karena dengan SPSS semua proses data akan menjadi sangat mudah. Dengan SPSS semua proses hitung menghitung telah dikerjakan oleh program ini. Proses penelitian pun juga menjadi sangat mudah, tentunya sangat praktis. Selain itu membantu dalam Psikometri.
Tujuan : Membantu proses menghitung data dan proses analisa statistika lainnya
Cara Kerja : Cukup memasukan data dan mengklik perintah yang diinginkan
Kelebihan :
• Praktis
• Proses mudah
• Proses cepat
Kekurangan :
• Butuh bimbingan atau kursus untuk mendalami program ini
Manfaat : Sangat membantu proses data dalam suatu penelitian
Kamis, 03 November 2011
Senin, 03 Oktober 2011
Sejarah Internet
Sejarah Internet dan Perkembangan Internet
Sejarah dari adanya intenet dimulai pada tahun 1969 ketika itu Departemen Pertahanan Amerika, U.S. Defense Advanced Research Projects Agency(DARPA) memutuskan untuk mengadakan riset tentang bagaimana cara menghubungkan sejumlah komputer sehingga membentuk jaringan organik.
Program riset ini dikenal dengan nama ARPANET. Pada 1970, sudah lebih dari 10 komputer yang berhasil dihubungkan satu sama lain sehingga mereka bisa saling berkomunikasi dan membentuk sebuah jaringan.
Tahun 1972, Roy Tomlinson berhasil menyempurnakan program e-mail yang ia ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung menjadi populer. Pada tahun yang sama, icon @juga diperkenalkan sebagai lambang penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat.
Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang ahli komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah gagasan yang lebih besar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex.
Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris berhasil mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah lebih dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, menciptakan newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom menciptakan gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang bisa saling menelpon sambil berhubungan dengan video link.
Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, maka dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun 1982 dibentuk Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan jasa jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan jasa e-mail dan newsgroup USENET.
Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, maka pada tahun 1984 diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer lebih. Pada 1987 jumlah komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 lebih.
Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, jumlah komputer yang saling berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang paling bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang bisa menjelajah antara satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau Worl Wide Web.
Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan di tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berubah. Di tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran Netscape Navigator 1.0.
Sumber :
http://www.sejarah-internet.com/sejarah-internet/
Sejarah dari adanya intenet dimulai pada tahun 1969 ketika itu Departemen Pertahanan Amerika, U.S. Defense Advanced Research Projects Agency(DARPA) memutuskan untuk mengadakan riset tentang bagaimana cara menghubungkan sejumlah komputer sehingga membentuk jaringan organik.
Program riset ini dikenal dengan nama ARPANET. Pada 1970, sudah lebih dari 10 komputer yang berhasil dihubungkan satu sama lain sehingga mereka bisa saling berkomunikasi dan membentuk sebuah jaringan.
Tahun 1972, Roy Tomlinson berhasil menyempurnakan program e-mail yang ia ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung menjadi populer. Pada tahun yang sama, icon @juga diperkenalkan sebagai lambang penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat.
Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang ahli komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah gagasan yang lebih besar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex.
Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris berhasil mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah lebih dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, menciptakan newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom menciptakan gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang bisa saling menelpon sambil berhubungan dengan video link.
Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, maka dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun 1982 dibentuk Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan jasa jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan jasa e-mail dan newsgroup USENET.
Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, maka pada tahun 1984 diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer lebih. Pada 1987 jumlah komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 lebih.
Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, jumlah komputer yang saling berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang paling bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang bisa menjelajah antara satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau Worl Wide Web.
Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan di tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berubah. Di tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran Netscape Navigator 1.0.
Sumber :
http://www.sejarah-internet.com/sejarah-internet/
Pengertian IP Addres, Domain & Name Server
Alamat IP
Alamat IP (Internet Protocol Address atau sering disingkat IP) adalah deretan angka biner antar 32-bit sampai 128-bit yang dipakai sebagai alamat identifikasi untuk tiap komputer host dalam jaringan Internet. Panjang dari angka ini adalah 32-bit (untuk IPv4 atau IP versi 4), dan 128-bit (untuk IPv6 atau IP versi 6) yang menunjukkan alamat dari komputer tersebut pada jaringan Internet berbasis TCP/IP.
Sistem pengalamatan IP ini terbagi menjadi dua, yakni:
• IP versi 4 (IPv4)
• IP versi 6 (IPv6)
Alamat IP versi 4
IPv4) adalah sebuah jenis pengalamatan jaringan yang digunakan di dalam protokol jaringan TCP/IP yang menggunakan protokol IP versi 4. Panjang totalnya adalah 32-bit, dan secara teoritis dapat mengalamati hingga 4 miliar host komputer atau lebih tepatnya 4.294.967.296 host di seluruh dunia, jumlah host tersebut didapatkan dari 256 (didapatkan dari 8 bit) dipangkat 4(karena terdapat 4 oktet) sehingga nilai maksimal dari alamt IP versi 4 tersebut adalah 255.255.255.255 dimana nilai dihitung dari nol sehingga nilai nilai host yang dapat ditampung adalah 256x256x256x256=4.294.967.296 host. sehingga bila host yang ada diseluruh dunia melebihi kuota tersebut maka dibuatlah IP versi 6 atau IPv6.
• Contoh alamat IP versi 4 adalah 192.168.0.3.
Alamat IP versi 6
Alamat IP versi 6 (sering disebut sebagai alamat IPv6) adalah sebuah jenis pengalamatan jaringan yang digunakan di dalam protokol jaringan TCP/IP yang menggunakan protokol IP versi 6. Panjang totalnya adalah 128-bit, dan secara teoritis dapat mengalamati hingga 2128=3,4 x 1038 host komputer di seluruh dunia. Contoh alamat IP versi 6 adalah 21DA:00D3:0000:2F3B:02AA:00FF:FE28:9C5A.
Sama seperti halnya IPv4, IPv6 juga mengizinkan adanya DHCP Server sebagai pengatur alamat otomatis. Jika dalam IPv4 terdapat dynamic address dan static address, maka dalam IPv6, konfigurasi alamat dengan menggunakan DHCP Server dinamakan dengan stateful address configuration, sementara jika konfigurasi alamat IPv6 tanpa DHCP Server dinamakan dengan stateless address configuration.
Seperti halnya IPv4 yang menggunakan bit-bit pada tingkat tinggi (high-order bit) sebagai alamat jaringan sementara bit-bit pada tingkat rendah (low-order bit) sebagai alamat host, dalam IPv6 juga terjadi hal serupa. Dalam IPv6, bit-bit pada tingkat tinggi akan digunakan sebagai tanda pengenal jenis alamat IPv6, yang disebut dengan Format Prefix (FP). Dalam IPv6, tidak ada subnet mask, yang ada hanyalah Format Prefix.
PENGERTIAN DOMAIN
Apa itu Domain ?. Tutorial Digital kali ini akan mencoba mengemukakan kepada anda tentang Pengertian Domain. Arti dari Domain dan fungsi dari domain tersebut. Kiranya apa yang telah dikemukakan dibawah dapat bermanfaat sekaligus menjawab keingintahuan anda tentang arti Domain, maksud dan tujuannya.
Pengertian Domain menurut wikipedia :
Nama domain (domain name) adalah nama unik yang diberikan untuk mengidentifikasi nama server komputer seperti web server atau email server di jaringan komputer ataupun internet. Nama domain berfungsi untuk mempermudah pengguna di internet pada saat melakukan akses ke server, selain juga dipakai untuk mengingat nama server yang dikunjungi tanpa harus mengenal deretan angka yang rumit yang dikenal sebagai IP address. Nama domain ini juga dikenal sebagai sebuah kesatuan dari sebuah situs web seperti contohnya "wikipedia.org". Nama domain kadang-kadang disebut pula dengan istilah URL, atau alamat website.
sumber: Wikipedia
Pengertian Domain Menurut Tutorial Digital :
Domain adalah suatu nama berformat huruf abjad (a,b,c,d,e,dan seterusnya) dan angka (1,2,3,dan seterusnya) serta simbol (-)untuk menamai alamat url website sebagai pengganti format deretan angka dari alamat IP client server hosting tempat file web diletakkan.
Contoh : misal alamat IP server tempat file web kita disimpan adalah 77.165.90.89 sebenarnya kita bisa saja mengetikkan 77.165.90.89 langsung di browser untuk mengakses website kita, namun hal ini tentunya sangat tidak baik bagi ingatan orang khususnya ingatan pengunjung website yang mengakses website kita.Karena setiap orang tentunya akan lebih mudah mengingat deretan kata ketimbang deretan angka. Untuk itu diperlukan domain guna mengganti deretan angka tersebut agar menjadi deretan kata yang tentunya gampang diingat.misal:namadomain.com akan lebih gampang diingat ketimbang angka 77.165.90.89
Pengertian DNS (Domain Name System)
Sejarah DNS
Sebelum dipergunakannya DNS, jaringan komputer menggunakan HOSTS files yang berisi informasi dari nama komputer dan IP address-nya. Di Internet, file ini dikelola secara terpusat dan di setiap lokasi harus di copy versi terbaru dari HOSTS files, dari sini bisa dibayangkan betapa repotnya jika ada penambahan 1 komputer di jaringan, maka kita harus copy versi terbaru file ini ke setiap lokasi. Dengan makin meluasnya jaringan internet, hal ini makin merepotkan, akhirnya dibuatkan sebuah solusi dimana DNS di desain menggantikan fungsi HOSTS files, dengan kelebihan unlimited database size, dan performace yang baik. DNS adalah sebuah aplikasi services di Internet yang menerjemahkan sebuah domain name ke IP address. Sebagai contoh, www untuk penggunaan di Internet, lalu diketikan nama domain, misalnya: yahoo.com maka akan di petakan ke sebuah IP mis 202.68.0.134. Jadi DNS dapat di analogikan pada pemakaian buku telepon, dimana orang yang kita kenal berdasarkan nama untuk menghubunginya kita harus memutar nomor telepon di pesawat telepon. Sama persis, host computer mengirimkan queries berupa nama komputer dan domain name server ke DNS, lalu oleh DNS dipetakan ke IP address...
Domain Name System (DNS)
Domain Name System (DNS) adalah distribute database system yang digunakan untuk pencarian nama komputer (name resolution) di jaringan yang mengunakan TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). DNS biasa digunakan pada aplikasi yang terhubung ke Internet seperti web browser atau e-mail, dimana DNS membantu memetakan host name sebuah komputer ke IP address. Selain digunakan di Internet, DNS juga dapat di implementasikan ke private network atau intranet dimana DNS memiliki keunggulan seperti:
1. Mudah, DNS sangat mudah karena user tidak lagi direpotkan untuk mengingat IP address sebuah komputer cukup host name (nama Komputer).
2. Konsisten, IP address sebuah komputer bisa berubah tapi host name tidak berubah.
3. Simple, user hanya menggunakan satu nama domain untuk mencari baik di Internet maupun di Intranet.
Struktur DNS
Domain Name Space merupakan sebuah hirarki pengelompokan domain berdasarkan nama, yang terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya:
1. Root-Level Domains
Domain ditentukan berdasarkan tingkatan kemampuan yang ada di struktur hirarki yang disebut dengan
level. Level paling atas di hirarki disebut dengan root domain. Root domain di ekspresikan berdasarkan periode dimana lambang untuk root domain adalah (“.”).
2. Top-Level Domains
Pada bagian dibawah ini adalah contoh dari top-level domains:
a) com Organisasi Komersial
b) edu Institusi pendidikan atau universitas
c) org Organisasi non-profit
d) net Networks (backbone Internet)
e) gov Organisasi pemerintah non militer
f) mil Organisasi pemerintah militer
g) num No telpon
h) arpa Reverse DNS
i) xx dua-huruf untuk kode Negara (id:indonesia.my:malaysia,au:australia)
Top-level domains dapat berisi second-level domains dan hosts.
3. Second-Level Domains
Second-level domains dapat berisi host dan domain lain, yang disebut dengan subdomain. Untuk contoh:
Domain Bujangan, bujangan.com terdapat komputer (host) seperti server1.bujangan.com dan subdomain training.bujangan.com. Subdomain training.bujangan.com juga terdapat komputer (host) seperti client1.training.bujangan.com.
4. Host Names
Domain name yang digunakan dengan host name akan menciptakan fully qualified domain name (FQDN) untuk setiap komputer. Sebagai contoh, jika terdapat fileserver1.detik.com, dimana fileserver1 adalah host name dan detik.com adalah domain name.
Bagaimana DNS Bekerja
Fungsi dari DNS adalah menerjemahkan nama komputer ke IP address (memetakan). Client DNS disebut dengan resolvers dan DNS server disebut dengan name servers. Resolvers atau client mengirimkan permintaan ke name server berupa queries. Name server akan memproses dengan cara mencek ke local database DNS, menghubungi name server lainnya atau akan mengirimkan message failure jika ternyata permintaan dari client tidak ditemukan. Proses tersebut disebut dengan Forward Lookup Query, yaitu permintaan dari client dengan cara memetakan nama komputer (host) ke IP address.
a) Resolvers mengirimkan queries ke name server
b) Name server mencek ke local database, atau menghubungi name server lainnya, jika ditemukan akan diberitahukan ke resolvers jika tidak akan mengirimkan failure message
c) Resolvers menghubungi host yang dituju dengan menggunakan IP address yang diberikan name server.
Sumber :
http://www.tutorialdigital.com/2009/11/pengertian-domain.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Alamat_IP
http://wacanakomputer.wordpress.com/2009/09/06/domain-name-server-dns/
http://baru-ajah.blogspot.com/2009/07/pengertian-dns-domain-name-system.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Alamat_IP_versi_6
http://id.wikipedia.org/wiki/Alamat_IP_versi_4
Alamat IP (Internet Protocol Address atau sering disingkat IP) adalah deretan angka biner antar 32-bit sampai 128-bit yang dipakai sebagai alamat identifikasi untuk tiap komputer host dalam jaringan Internet. Panjang dari angka ini adalah 32-bit (untuk IPv4 atau IP versi 4), dan 128-bit (untuk IPv6 atau IP versi 6) yang menunjukkan alamat dari komputer tersebut pada jaringan Internet berbasis TCP/IP.
Sistem pengalamatan IP ini terbagi menjadi dua, yakni:
• IP versi 4 (IPv4)
• IP versi 6 (IPv6)
Alamat IP versi 4
IPv4) adalah sebuah jenis pengalamatan jaringan yang digunakan di dalam protokol jaringan TCP/IP yang menggunakan protokol IP versi 4. Panjang totalnya adalah 32-bit, dan secara teoritis dapat mengalamati hingga 4 miliar host komputer atau lebih tepatnya 4.294.967.296 host di seluruh dunia, jumlah host tersebut didapatkan dari 256 (didapatkan dari 8 bit) dipangkat 4(karena terdapat 4 oktet) sehingga nilai maksimal dari alamt IP versi 4 tersebut adalah 255.255.255.255 dimana nilai dihitung dari nol sehingga nilai nilai host yang dapat ditampung adalah 256x256x256x256=4.294.967.296 host. sehingga bila host yang ada diseluruh dunia melebihi kuota tersebut maka dibuatlah IP versi 6 atau IPv6.
• Contoh alamat IP versi 4 adalah 192.168.0.3.
Alamat IP versi 6
Alamat IP versi 6 (sering disebut sebagai alamat IPv6) adalah sebuah jenis pengalamatan jaringan yang digunakan di dalam protokol jaringan TCP/IP yang menggunakan protokol IP versi 6. Panjang totalnya adalah 128-bit, dan secara teoritis dapat mengalamati hingga 2128=3,4 x 1038 host komputer di seluruh dunia. Contoh alamat IP versi 6 adalah 21DA:00D3:0000:2F3B:02AA:00FF:FE28:9C5A.
Sama seperti halnya IPv4, IPv6 juga mengizinkan adanya DHCP Server sebagai pengatur alamat otomatis. Jika dalam IPv4 terdapat dynamic address dan static address, maka dalam IPv6, konfigurasi alamat dengan menggunakan DHCP Server dinamakan dengan stateful address configuration, sementara jika konfigurasi alamat IPv6 tanpa DHCP Server dinamakan dengan stateless address configuration.
Seperti halnya IPv4 yang menggunakan bit-bit pada tingkat tinggi (high-order bit) sebagai alamat jaringan sementara bit-bit pada tingkat rendah (low-order bit) sebagai alamat host, dalam IPv6 juga terjadi hal serupa. Dalam IPv6, bit-bit pada tingkat tinggi akan digunakan sebagai tanda pengenal jenis alamat IPv6, yang disebut dengan Format Prefix (FP). Dalam IPv6, tidak ada subnet mask, yang ada hanyalah Format Prefix.
PENGERTIAN DOMAIN
Apa itu Domain ?. Tutorial Digital kali ini akan mencoba mengemukakan kepada anda tentang Pengertian Domain. Arti dari Domain dan fungsi dari domain tersebut. Kiranya apa yang telah dikemukakan dibawah dapat bermanfaat sekaligus menjawab keingintahuan anda tentang arti Domain, maksud dan tujuannya.
Pengertian Domain menurut wikipedia :
Nama domain (domain name) adalah nama unik yang diberikan untuk mengidentifikasi nama server komputer seperti web server atau email server di jaringan komputer ataupun internet. Nama domain berfungsi untuk mempermudah pengguna di internet pada saat melakukan akses ke server, selain juga dipakai untuk mengingat nama server yang dikunjungi tanpa harus mengenal deretan angka yang rumit yang dikenal sebagai IP address. Nama domain ini juga dikenal sebagai sebuah kesatuan dari sebuah situs web seperti contohnya "wikipedia.org". Nama domain kadang-kadang disebut pula dengan istilah URL, atau alamat website.
sumber: Wikipedia
Pengertian Domain Menurut Tutorial Digital :
Domain adalah suatu nama berformat huruf abjad (a,b,c,d,e,dan seterusnya) dan angka (1,2,3,dan seterusnya) serta simbol (-)untuk menamai alamat url website sebagai pengganti format deretan angka dari alamat IP client server hosting tempat file web diletakkan.
Contoh : misal alamat IP server tempat file web kita disimpan adalah 77.165.90.89 sebenarnya kita bisa saja mengetikkan 77.165.90.89 langsung di browser untuk mengakses website kita, namun hal ini tentunya sangat tidak baik bagi ingatan orang khususnya ingatan pengunjung website yang mengakses website kita.Karena setiap orang tentunya akan lebih mudah mengingat deretan kata ketimbang deretan angka. Untuk itu diperlukan domain guna mengganti deretan angka tersebut agar menjadi deretan kata yang tentunya gampang diingat.misal:namadomain.com akan lebih gampang diingat ketimbang angka 77.165.90.89
Pengertian DNS (Domain Name System)
Sejarah DNS
Sebelum dipergunakannya DNS, jaringan komputer menggunakan HOSTS files yang berisi informasi dari nama komputer dan IP address-nya. Di Internet, file ini dikelola secara terpusat dan di setiap lokasi harus di copy versi terbaru dari HOSTS files, dari sini bisa dibayangkan betapa repotnya jika ada penambahan 1 komputer di jaringan, maka kita harus copy versi terbaru file ini ke setiap lokasi. Dengan makin meluasnya jaringan internet, hal ini makin merepotkan, akhirnya dibuatkan sebuah solusi dimana DNS di desain menggantikan fungsi HOSTS files, dengan kelebihan unlimited database size, dan performace yang baik. DNS adalah sebuah aplikasi services di Internet yang menerjemahkan sebuah domain name ke IP address. Sebagai contoh, www untuk penggunaan di Internet, lalu diketikan nama domain, misalnya: yahoo.com maka akan di petakan ke sebuah IP mis 202.68.0.134. Jadi DNS dapat di analogikan pada pemakaian buku telepon, dimana orang yang kita kenal berdasarkan nama untuk menghubunginya kita harus memutar nomor telepon di pesawat telepon. Sama persis, host computer mengirimkan queries berupa nama komputer dan domain name server ke DNS, lalu oleh DNS dipetakan ke IP address...
Domain Name System (DNS)
Domain Name System (DNS) adalah distribute database system yang digunakan untuk pencarian nama komputer (name resolution) di jaringan yang mengunakan TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). DNS biasa digunakan pada aplikasi yang terhubung ke Internet seperti web browser atau e-mail, dimana DNS membantu memetakan host name sebuah komputer ke IP address. Selain digunakan di Internet, DNS juga dapat di implementasikan ke private network atau intranet dimana DNS memiliki keunggulan seperti:
1. Mudah, DNS sangat mudah karena user tidak lagi direpotkan untuk mengingat IP address sebuah komputer cukup host name (nama Komputer).
2. Konsisten, IP address sebuah komputer bisa berubah tapi host name tidak berubah.
3. Simple, user hanya menggunakan satu nama domain untuk mencari baik di Internet maupun di Intranet.
Struktur DNS
Domain Name Space merupakan sebuah hirarki pengelompokan domain berdasarkan nama, yang terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya:
1. Root-Level Domains
Domain ditentukan berdasarkan tingkatan kemampuan yang ada di struktur hirarki yang disebut dengan
level. Level paling atas di hirarki disebut dengan root domain. Root domain di ekspresikan berdasarkan periode dimana lambang untuk root domain adalah (“.”).
2. Top-Level Domains
Pada bagian dibawah ini adalah contoh dari top-level domains:
a) com Organisasi Komersial
b) edu Institusi pendidikan atau universitas
c) org Organisasi non-profit
d) net Networks (backbone Internet)
e) gov Organisasi pemerintah non militer
f) mil Organisasi pemerintah militer
g) num No telpon
h) arpa Reverse DNS
i) xx dua-huruf untuk kode Negara (id:indonesia.my:malaysia,au:australia)
Top-level domains dapat berisi second-level domains dan hosts.
3. Second-Level Domains
Second-level domains dapat berisi host dan domain lain, yang disebut dengan subdomain. Untuk contoh:
Domain Bujangan, bujangan.com terdapat komputer (host) seperti server1.bujangan.com dan subdomain training.bujangan.com. Subdomain training.bujangan.com juga terdapat komputer (host) seperti client1.training.bujangan.com.
4. Host Names
Domain name yang digunakan dengan host name akan menciptakan fully qualified domain name (FQDN) untuk setiap komputer. Sebagai contoh, jika terdapat fileserver1.detik.com, dimana fileserver1 adalah host name dan detik.com adalah domain name.
Bagaimana DNS Bekerja
Fungsi dari DNS adalah menerjemahkan nama komputer ke IP address (memetakan). Client DNS disebut dengan resolvers dan DNS server disebut dengan name servers. Resolvers atau client mengirimkan permintaan ke name server berupa queries. Name server akan memproses dengan cara mencek ke local database DNS, menghubungi name server lainnya atau akan mengirimkan message failure jika ternyata permintaan dari client tidak ditemukan. Proses tersebut disebut dengan Forward Lookup Query, yaitu permintaan dari client dengan cara memetakan nama komputer (host) ke IP address.
a) Resolvers mengirimkan queries ke name server
b) Name server mencek ke local database, atau menghubungi name server lainnya, jika ditemukan akan diberitahukan ke resolvers jika tidak akan mengirimkan failure message
c) Resolvers menghubungi host yang dituju dengan menggunakan IP address yang diberikan name server.
Sumber :
http://www.tutorialdigital.com/2009/11/pengertian-domain.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Alamat_IP
http://wacanakomputer.wordpress.com/2009/09/06/domain-name-server-dns/
http://baru-ajah.blogspot.com/2009/07/pengertian-dns-domain-name-system.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Alamat_IP_versi_6
http://id.wikipedia.org/wiki/Alamat_IP_versi_4
Selasa, 12 April 2011
Stress
A. Pengertian Stress
Istilah stress secara histories telah lama digunakan untuk menjelaskan suatu tuntutan untuk beradaptasi dari seseorang, ataupun reaksi seseorang terhadap tuntutan tersebut. Menurut H. Handoko, Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Sedangkan berdasarkan definisi kerjanya, pengertian dari stress adalah :
a. Suatu tanggapan adaptif, ditengahi oleh perbedaan individual dan atau proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap kegiatan ( lingkungan ), situasi atau kejadian eksternal yang membebani tuntunan psikologis atau fisik yang berlebihan terhadap seseorang.
b. Sebagai suatu tanggapan penyesuaian, dipengaruhi oleh perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar ( lingkungan ) situasi atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan pada seseorang.
Menurut Woolfolk dan Richardson (1979) menyatakan bahwa adanya system kognitif apresiawa stress l menyebabkan segala peristiwa yang terjadi disekitar kita akan dihayati sebagai suatu stress berdasarkan arti atau interprestasi yang kita berikan terhadap peristiwa tersebut, dan bukan karena peristiwa itu sendiri.Karenanya dikatakan bahwa stress adalah suatu persepsi dari ancaman atau dari suatu bayangan akan adanya ketidaksenangan yang menggerakkan, menyiagakan atau mambuat aktif organisme. Sebelumnya Selye (1936 ) telah menggambarkan bahwa strees adalah suatu sindrom biologic atau badaniah.Didalam eksperimennya, seekor tikus percobaan mengalami kedinginan pembedahan atau kerusakan sum-sum tulang belakang, akan memperlihatkan suatu sindroma yang khas.Gejala-gejala itu tidak tergantung pada jenis zat atau ruda yang menimbulkan kerusakan,sindroma ini lebih merupan perwujudan suatu keadaan yang dinamakan stress denagn gejala-gejala sistembilogik mahluk hidup itu. Selye menekankan bahwa stress terutama mewujudkan diri sebagai suatu reaksi badaniah yan dapat diamati dan diukur.Stres merupakan suatu reaksi penyusuaian diri,suatu sindroma penyusuaian umum terhadap rangsangan yang berbeda-beda.
Menurut Mason (1971 ) membantah konsep yang mengatakan bahwa stress hanyalah merupak badaniah saja. Ditunjukkkan nya bahwa daya adaptasi seseoarang itu tergantung pada faktor-faktor kejiwaan atau psikologiknya yang menyertai stresor. Stres bukanlah konsep faal saja, lebih banyak dilihat sebagai konsep perilaku, setiap reaksi organisme terhadap stresor memungkinkan sekali terlebih dahulu dimulai oleh kelainan perilaku dan kemudian mungkin baru terjadi akibat faal, kemudian Mason (1976 ) menunjukkan bahwa terdapat pola hormonal yang berbeda terhadap stresor fisik yang berbeda.
Pada penelitain Wolf dan Goodel ( 1968 ) bahwa individu-individu yang mengalami kesukaran dengan suatu sistem organ , cenderung akan bereaksi etrhadap stresor dengan gejala dan keluhan dalam sistem organ yang sama.Kondisi sosial, perasaan dan kemampuan untuk menanggulangi masalah, ternyata mempengaruhi juga aspek yang berbeda- beda dari reaksi terhadap stres.Stress didefinisikan sebagai proses dengan kejadian lingkungan yang mengancam atau hilangnya kesejahteraan organisme yang menimbulkan beberapa respon dari organisme tersebut. Respons ini bisa dalam bentuk coping behavior (tingkah laku penyesuaian) terhadap ancaman. Kejadian-kejadian lingkungan yang menyebabkan proses ini disebut sebagai sumber stress (stressor) yang antara lain berupa bencana alam dan teknologi, bising, dancommuting, sedangkan reaksi yang timbul karena adanya stressor disebut respons dari stress (stress response).
B. Model Stress
1. PSIKOSOMATIK STRESS
Dalam menghadapi waktu konflik, seringkali terjadi gangguan pada fungsi badaniah. Gejala-gejala yang sebagian besar mengganggu fungsi faal yang berlebihan sebagai akibat dari manifestasi, gangguan jika ini dinamakan gangguan psikosomatik. Psikosomatik umumnya dapat membantu banyak dalam usaha mengerti hubungan antara kepribadian seseorang dengan penyakit atau gangguannya.
Suatu konflik menimbulkan ketegangan pada manusia dan bila hal ini tidak terselesaikan dan disalurkan dengan baik maka timbullah reaksi-reaksi yang abnormal pada jiwa. Jika ketegangan tersebut mengganggu fungsi susunan saraf negatif, maka hal tersebut yang dinamakan gangguan psikosomatik.
2. ADAPTASI MODEL
Setiap orang secara terus menerus akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi dengan seimbang maka tingkat stress akan meningkat. Model adaptasi menunjukkan bahwa empat faktor menentukan apakah suatu situasi adalah menegangkan (Mechanic, 1962). Empat faktor yang mempengaruhi Kemampuan untuk menghadapi stress itu adalah :
a. Adaptasi fisiologis/biologis Pada dasarnya disetiap tubuh manusia telah terdapat mekanisme pertahanan yang bersifat alami dan bekerja secara teratur sehingga memungkinkan tubuh untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang berasal dari faktor internal. Mekanisme ini bekerja dengan sendirinya dan akan berubah menjadi suatu aksi tanpa didasari dan biasanya berfungsi dalam kondisi yang tidak normal.
b. Adaptasi psikologis Seseorang yang menghadapi stress akan mengalami kondisi-kondisi yang tidak mengenakkan secara psikis seperti timbulnya rasa cemas, frustasi, terancam, tak tentram yang semuanya itu berdampak pada munculnya suatu kontak konflik dalam jiwa mereka. dan konflik tersebut diekspresikan dalam bentuk kemarahan atau ekspresi-ekspresi lain yang dapat membuat orang tersebut merasa sedikit nyaman atau terlepas dari stress yang dihadapinya.
c. Adaptasi sosial budaya Setiap lingkungan sosial masyarakat mempunyai tatanan budaya masing-,masing. Antara lingkungan satu dan yang lainnya tentu memiliki budaya berbeda-beda. Perbedaan tersebut yang akhirnya menuntut setiap orang beradaptasi jika hal itu dapat dilakukan dengan baik maka akan tercipta keseimbangan. Namun jika hal tersebut tidak dapat dilakukan bukanlah suatu hal yang tidak mungkin jika orang tersebut akan mengalami stress.
d. Adaptasi spritual Setiap agama dan kepercayaan mengandung ajaran yang hendaknya harus dijalankan oleh penganutnya. Ajaran-ajaran ini tentunya juga harus turut andil dalammengatur perilaku manusia ini. Oleh karena itu dalam rangka memenuhi ajaran-ajaran tersebut pasti terjadi perubahan dalam perilaku manusia.
3. LINGKUNGAN SOSIAL MODEL
Keadaan lingkungan dan masyarakat sangat mempengaruhi seseorang dalam beradaptasi. Keadaan lingkungan yang stabil dan seimbang akan memudahkan seseorang dalam beradaptasi. Sedangkan keadaan masyarakat dengan hubungan sosial yang baik juga akan memudahkan individu dalam melakukan adaptasi agar terhindar dari stress.
4. PROSES MODEL
Pada dasarnya proses model adalah berlangsungnya kejadian dan masalah yang terjadi pada seseorang sehingga mempengaruhi orang tersebut yang pada akhirnya mengalami stress dan proses menghadapi stress itu sendiri.
C. Jenis Stress
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
* Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
* Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
Pengertian Stres Kerja
Definisi stres kerja dapat dinyatakan sebagai berikut :
“Work stress is an individual’s response to work related environmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioural reaction” (Selye, dalam Beehr, et al., 1992: 623)
Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja.
Sumber-sumber Stres Kerja
Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama, yakni:
1. Kondisi dan situasi pekerjaan
2. Pekerjaannya
3. Job requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas
4. Hubungan interpersonal
Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas empat hal utama, yakni:
1. Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal.
2. Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi.
3. Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup.
4. Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis.
Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam pekerjaan menjadi dua, yakni:
* Group stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara karyawan, konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan di dalam perusahaan.
* Individual stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.
Cooper (dalam Rice, 1999) memberikan daftar lengkap stressor dari sumber pekerjaan yang tertera pada tabel berikut:
Stressor
Dari
Stres Kerja
Faktor Yang Mempengaruhi
(Hal-hal Yang Mungkin Terjadi Di Lapangan)
Konsekuensi Kondisi Yang
Mungkin Muncul
Kondisi pekerjaan
* Beban kerja berlebihan secara kuantitatif
* Beban kerja berlebihan secara kualitatif
* Assembly-line hysteria
* Keputusan yang dibuat oleh seseorang
* Bahaya fisik
* Jadwal bekerja
* Technostress
* Kelelahan mental dan/atau fisik
* Kelelahan yang amat sangat dalam bekerja (burnout)
* Meningkatnya kesensitivan dan ketegangan
Stress karena peran
* Ketidakjelasan peran
* Adanya bias dalam membedakan gender dan stereotype peran gender
* Pelecehan seksual
* Meningkatnya kecemasan dan ketegangan
* Menurunnya prestasi pekerjaan
Faktor interpersonal
* Hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk
* Persaingan politik, kecemburuan dan kemarahan
* Kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan
* Meningkatnya ketegangan
* Meningkatnya tekanan darah
* Ketidakpuasan kerja
Perkembangan karir
* Promosi ke jabatan yang lebih rendah dari kemampuannya
* Promosi ke jabatan yang lebih tinggi dari kemampuannya
* Keamanan pekerjaannya
* Ambisi yang berlebihan sehingga mengakibatkan frustrasi
* Menurunnya produktivitas
* Kehilangan rasa percaya diri
* Meningkatkan kesensitifan dan ketegangan
* Ketidakpuasan kerja
Struktur organisasi
* Struktur yang kaku dan tidak bersahabat
* Pertempuran politik
* Pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang
* Ketidakterlibatan dalam membuat keputusan
* Menurunnya motivasi dan produktivitas
* Ketidakpuasan kerja
Tampilan rumah-pekerjaan
* Mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi
* Kurangnya dukungan dari pasangan hidup
* Konflik pernikahan
* Stres karena memiliki dua pekerjaan
* Meningkatnya konflik dan kelelahan mental
* Menurunnya motivasi dan produktivitas
* Meningkatnya konflik pernikahan
1. Stres Kepribadian (Personality Stress)
Stres kepribadian adalah stress yang dipicu oleh masalah dari dalam diri seseorang. Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan atas dirinya. Orang yang selalu menyikapi positif segala tekanan hidup akan kecil resiko terkenal stress jenis yang satu ini.
2. Stes Psikososial (Psychosocial Stress)
Stres psikososial adalah stress yang dipicu oleh hubungan relasi dengan orang lain di sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya. Contohnya seperti stres adaptasi lingkungan baru, masalah cinta, masalah keluarga, stres macet di jalan raya, diolok-olok, dan lain-lain.
3. Stres Bioekologi (Bio-Ecological Stress)
Stres bio-ekologi adalah stress yang dipicu oleh dua hal. Yang pertama yaitu ekologi / lingkungan seperti polusi serta cuaca dan yang kedua akibat kondisi biologis seperti akibat datang bulan, demam, asma, jerawatan, tambah tua, dan banyak lagi akibat penyakit dan kondisi tubuh lainnya.
4. Stres Pekerjaan (Job Stress)
Stres pekerjaan adalah stress yang dipicu oleh pekerjaan seseorang. Persaingan jabatan, tekanan pekerjaan, deadline, terlalu banyak kerjaan, ancaman phk, target tinggi, usaha gagal, persaingan bisnis, adalah beberapa hal umum yang dapat memicu munculnya stress akibat karir pekerjaan.
D. Stress Lingkungan
Teori stress lingkungan pada dasarnya merupakan aplikasi teori stress dalam lingkungan. Berdasarkan model input proses output, maka ada 3 pendekatan dalam stress, yaitu : stress bagi stressor, stress sebagai respon atau reaksi, dan stress sebagai proses. Oleh karenanya, stress terdiri atas 3 komponen, yaitu stressor, proses, dan respon. Stressor merupakan sumber atau stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang, misalnya suara bising, panas atau kepadatan tinggi. Respon stress adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, pikiran, fisiologis dan perilaku. Proses merupakan proses transaksi antara stressor dengan kapasitas dengan kapasitas diri. Oleh karenanya, istilah stress tidak hanya merujuk pada sumber stress, respon terhadap sumber stress saja, tetapi keterikatan antara ketiganya. Artinya, ada transaksi antara sumber stress dengan kapasitas diri untuk menentukan reaksi stress. Jika sumber stress lebih besar daripada kapasitas diri maka stress negatif akan muncul, sebaiknya sumber tekanan sama dengan atau kurang sedikit dari kapasitas diri maka stress positif akan muncul. Dalam kaitannnya dengan stress lingkungan, ada transaksi antara karakteristik lingkungan dengan karakteristik individu yang menentukan apakah situasi yang menekan tersebut menimbulkan stress atau tidak. Udara panas bagi sebagian orang menurunkan kinerja, tetapi bagi orang lain yang terbiasa tinggal di daerah gurun, udara panas tidak menghambat kinerja.
E. Peran Stress dalam Memahami Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir manusia. Dalam kehidupannya, manusia selalu berinteraksi dan tergantung dengan lingkungan. Keadaan lingkungan yang kondusif akan membuat manusia nyaman dan selalu dalam keadaan homeostasis. Namun, lingkungan terkadang memberikan efek negatif pada manusia yang dapat menyebabkan stress. Stress tidak dapat dihindarkan. Namun demikian, dengan memahami stressor dan stress itu sendiri, kita dapat meminimalkan stress yang tidak diperlukan, dan membuat diri kita lebih sehat , baik secara fisik , maupun mental. Untuk itulah kita perlu belajar untuk hidup bersama dengan stress. Beberapa upaya yang dapat dilakukan manusia untuk meminimalisasikan munculnya stress antara lain dengan beristirahat cukup, berolahraga teratur, rekreasi, menjaga menu dan pola makan. Namun, apabila telah terjadi stress, maka dapat ditanggulangi dengan cara coping yaitu dengan coping masalah dan coping emosi.
Sumber :
http://yh4princ3ss.wordpress.com/2010/04/19/pengertian-stress/
http://akperunipdu.blogspot.com/2008/05/stress-dan-adaptasi.html
http://kasturi82.blogspot.com/2009/04/jenis-jenis-stres.html
Long C Barbara, 1996, Perawatan Medikal Bedah, Yayasan IAPK, Pajajaran Bandung.
Kozier Erb, Fundamental Of Nursing : Concept Process and practice, Addison Weslwy Publishing co, USA, 1991.
Smeltzer bare, 2002, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner & studdarth edisi 8 , EGC, Jakarta.
Istilah stress secara histories telah lama digunakan untuk menjelaskan suatu tuntutan untuk beradaptasi dari seseorang, ataupun reaksi seseorang terhadap tuntutan tersebut. Menurut H. Handoko, Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Sedangkan berdasarkan definisi kerjanya, pengertian dari stress adalah :
a. Suatu tanggapan adaptif, ditengahi oleh perbedaan individual dan atau proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap kegiatan ( lingkungan ), situasi atau kejadian eksternal yang membebani tuntunan psikologis atau fisik yang berlebihan terhadap seseorang.
b. Sebagai suatu tanggapan penyesuaian, dipengaruhi oleh perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar ( lingkungan ) situasi atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan pada seseorang.
Menurut Woolfolk dan Richardson (1979) menyatakan bahwa adanya system kognitif apresiawa stress l menyebabkan segala peristiwa yang terjadi disekitar kita akan dihayati sebagai suatu stress berdasarkan arti atau interprestasi yang kita berikan terhadap peristiwa tersebut, dan bukan karena peristiwa itu sendiri.Karenanya dikatakan bahwa stress adalah suatu persepsi dari ancaman atau dari suatu bayangan akan adanya ketidaksenangan yang menggerakkan, menyiagakan atau mambuat aktif organisme. Sebelumnya Selye (1936 ) telah menggambarkan bahwa strees adalah suatu sindrom biologic atau badaniah.Didalam eksperimennya, seekor tikus percobaan mengalami kedinginan pembedahan atau kerusakan sum-sum tulang belakang, akan memperlihatkan suatu sindroma yang khas.Gejala-gejala itu tidak tergantung pada jenis zat atau ruda yang menimbulkan kerusakan,sindroma ini lebih merupan perwujudan suatu keadaan yang dinamakan stress denagn gejala-gejala sistembilogik mahluk hidup itu. Selye menekankan bahwa stress terutama mewujudkan diri sebagai suatu reaksi badaniah yan dapat diamati dan diukur.Stres merupakan suatu reaksi penyusuaian diri,suatu sindroma penyusuaian umum terhadap rangsangan yang berbeda-beda.
Menurut Mason (1971 ) membantah konsep yang mengatakan bahwa stress hanyalah merupak badaniah saja. Ditunjukkkan nya bahwa daya adaptasi seseoarang itu tergantung pada faktor-faktor kejiwaan atau psikologiknya yang menyertai stresor. Stres bukanlah konsep faal saja, lebih banyak dilihat sebagai konsep perilaku, setiap reaksi organisme terhadap stresor memungkinkan sekali terlebih dahulu dimulai oleh kelainan perilaku dan kemudian mungkin baru terjadi akibat faal, kemudian Mason (1976 ) menunjukkan bahwa terdapat pola hormonal yang berbeda terhadap stresor fisik yang berbeda.
Pada penelitain Wolf dan Goodel ( 1968 ) bahwa individu-individu yang mengalami kesukaran dengan suatu sistem organ , cenderung akan bereaksi etrhadap stresor dengan gejala dan keluhan dalam sistem organ yang sama.Kondisi sosial, perasaan dan kemampuan untuk menanggulangi masalah, ternyata mempengaruhi juga aspek yang berbeda- beda dari reaksi terhadap stres.Stress didefinisikan sebagai proses dengan kejadian lingkungan yang mengancam atau hilangnya kesejahteraan organisme yang menimbulkan beberapa respon dari organisme tersebut. Respons ini bisa dalam bentuk coping behavior (tingkah laku penyesuaian) terhadap ancaman. Kejadian-kejadian lingkungan yang menyebabkan proses ini disebut sebagai sumber stress (stressor) yang antara lain berupa bencana alam dan teknologi, bising, dancommuting, sedangkan reaksi yang timbul karena adanya stressor disebut respons dari stress (stress response).
B. Model Stress
1. PSIKOSOMATIK STRESS
Dalam menghadapi waktu konflik, seringkali terjadi gangguan pada fungsi badaniah. Gejala-gejala yang sebagian besar mengganggu fungsi faal yang berlebihan sebagai akibat dari manifestasi, gangguan jika ini dinamakan gangguan psikosomatik. Psikosomatik umumnya dapat membantu banyak dalam usaha mengerti hubungan antara kepribadian seseorang dengan penyakit atau gangguannya.
Suatu konflik menimbulkan ketegangan pada manusia dan bila hal ini tidak terselesaikan dan disalurkan dengan baik maka timbullah reaksi-reaksi yang abnormal pada jiwa. Jika ketegangan tersebut mengganggu fungsi susunan saraf negatif, maka hal tersebut yang dinamakan gangguan psikosomatik.
2. ADAPTASI MODEL
Setiap orang secara terus menerus akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi dengan seimbang maka tingkat stress akan meningkat. Model adaptasi menunjukkan bahwa empat faktor menentukan apakah suatu situasi adalah menegangkan (Mechanic, 1962). Empat faktor yang mempengaruhi Kemampuan untuk menghadapi stress itu adalah :
a. Adaptasi fisiologis/biologis Pada dasarnya disetiap tubuh manusia telah terdapat mekanisme pertahanan yang bersifat alami dan bekerja secara teratur sehingga memungkinkan tubuh untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang berasal dari faktor internal. Mekanisme ini bekerja dengan sendirinya dan akan berubah menjadi suatu aksi tanpa didasari dan biasanya berfungsi dalam kondisi yang tidak normal.
b. Adaptasi psikologis Seseorang yang menghadapi stress akan mengalami kondisi-kondisi yang tidak mengenakkan secara psikis seperti timbulnya rasa cemas, frustasi, terancam, tak tentram yang semuanya itu berdampak pada munculnya suatu kontak konflik dalam jiwa mereka. dan konflik tersebut diekspresikan dalam bentuk kemarahan atau ekspresi-ekspresi lain yang dapat membuat orang tersebut merasa sedikit nyaman atau terlepas dari stress yang dihadapinya.
c. Adaptasi sosial budaya Setiap lingkungan sosial masyarakat mempunyai tatanan budaya masing-,masing. Antara lingkungan satu dan yang lainnya tentu memiliki budaya berbeda-beda. Perbedaan tersebut yang akhirnya menuntut setiap orang beradaptasi jika hal itu dapat dilakukan dengan baik maka akan tercipta keseimbangan. Namun jika hal tersebut tidak dapat dilakukan bukanlah suatu hal yang tidak mungkin jika orang tersebut akan mengalami stress.
d. Adaptasi spritual Setiap agama dan kepercayaan mengandung ajaran yang hendaknya harus dijalankan oleh penganutnya. Ajaran-ajaran ini tentunya juga harus turut andil dalammengatur perilaku manusia ini. Oleh karena itu dalam rangka memenuhi ajaran-ajaran tersebut pasti terjadi perubahan dalam perilaku manusia.
3. LINGKUNGAN SOSIAL MODEL
Keadaan lingkungan dan masyarakat sangat mempengaruhi seseorang dalam beradaptasi. Keadaan lingkungan yang stabil dan seimbang akan memudahkan seseorang dalam beradaptasi. Sedangkan keadaan masyarakat dengan hubungan sosial yang baik juga akan memudahkan individu dalam melakukan adaptasi agar terhindar dari stress.
4. PROSES MODEL
Pada dasarnya proses model adalah berlangsungnya kejadian dan masalah yang terjadi pada seseorang sehingga mempengaruhi orang tersebut yang pada akhirnya mengalami stress dan proses menghadapi stress itu sendiri.
C. Jenis Stress
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
* Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
* Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
Pengertian Stres Kerja
Definisi stres kerja dapat dinyatakan sebagai berikut :
“Work stress is an individual’s response to work related environmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioural reaction” (Selye, dalam Beehr, et al., 1992: 623)
Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja.
Sumber-sumber Stres Kerja
Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama, yakni:
1. Kondisi dan situasi pekerjaan
2. Pekerjaannya
3. Job requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas
4. Hubungan interpersonal
Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas empat hal utama, yakni:
1. Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal.
2. Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi.
3. Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup.
4. Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis.
Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam pekerjaan menjadi dua, yakni:
* Group stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara karyawan, konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan di dalam perusahaan.
* Individual stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.
Cooper (dalam Rice, 1999) memberikan daftar lengkap stressor dari sumber pekerjaan yang tertera pada tabel berikut:
Stressor
Dari
Stres Kerja
Faktor Yang Mempengaruhi
(Hal-hal Yang Mungkin Terjadi Di Lapangan)
Konsekuensi Kondisi Yang
Mungkin Muncul
Kondisi pekerjaan
* Beban kerja berlebihan secara kuantitatif
* Beban kerja berlebihan secara kualitatif
* Assembly-line hysteria
* Keputusan yang dibuat oleh seseorang
* Bahaya fisik
* Jadwal bekerja
* Technostress
* Kelelahan mental dan/atau fisik
* Kelelahan yang amat sangat dalam bekerja (burnout)
* Meningkatnya kesensitivan dan ketegangan
Stress karena peran
* Ketidakjelasan peran
* Adanya bias dalam membedakan gender dan stereotype peran gender
* Pelecehan seksual
* Meningkatnya kecemasan dan ketegangan
* Menurunnya prestasi pekerjaan
Faktor interpersonal
* Hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk
* Persaingan politik, kecemburuan dan kemarahan
* Kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan
* Meningkatnya ketegangan
* Meningkatnya tekanan darah
* Ketidakpuasan kerja
Perkembangan karir
* Promosi ke jabatan yang lebih rendah dari kemampuannya
* Promosi ke jabatan yang lebih tinggi dari kemampuannya
* Keamanan pekerjaannya
* Ambisi yang berlebihan sehingga mengakibatkan frustrasi
* Menurunnya produktivitas
* Kehilangan rasa percaya diri
* Meningkatkan kesensitifan dan ketegangan
* Ketidakpuasan kerja
Struktur organisasi
* Struktur yang kaku dan tidak bersahabat
* Pertempuran politik
* Pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang
* Ketidakterlibatan dalam membuat keputusan
* Menurunnya motivasi dan produktivitas
* Ketidakpuasan kerja
Tampilan rumah-pekerjaan
* Mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi
* Kurangnya dukungan dari pasangan hidup
* Konflik pernikahan
* Stres karena memiliki dua pekerjaan
* Meningkatnya konflik dan kelelahan mental
* Menurunnya motivasi dan produktivitas
* Meningkatnya konflik pernikahan
1. Stres Kepribadian (Personality Stress)
Stres kepribadian adalah stress yang dipicu oleh masalah dari dalam diri seseorang. Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan atas dirinya. Orang yang selalu menyikapi positif segala tekanan hidup akan kecil resiko terkenal stress jenis yang satu ini.
2. Stes Psikososial (Psychosocial Stress)
Stres psikososial adalah stress yang dipicu oleh hubungan relasi dengan orang lain di sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya. Contohnya seperti stres adaptasi lingkungan baru, masalah cinta, masalah keluarga, stres macet di jalan raya, diolok-olok, dan lain-lain.
3. Stres Bioekologi (Bio-Ecological Stress)
Stres bio-ekologi adalah stress yang dipicu oleh dua hal. Yang pertama yaitu ekologi / lingkungan seperti polusi serta cuaca dan yang kedua akibat kondisi biologis seperti akibat datang bulan, demam, asma, jerawatan, tambah tua, dan banyak lagi akibat penyakit dan kondisi tubuh lainnya.
4. Stres Pekerjaan (Job Stress)
Stres pekerjaan adalah stress yang dipicu oleh pekerjaan seseorang. Persaingan jabatan, tekanan pekerjaan, deadline, terlalu banyak kerjaan, ancaman phk, target tinggi, usaha gagal, persaingan bisnis, adalah beberapa hal umum yang dapat memicu munculnya stress akibat karir pekerjaan.
D. Stress Lingkungan
Teori stress lingkungan pada dasarnya merupakan aplikasi teori stress dalam lingkungan. Berdasarkan model input proses output, maka ada 3 pendekatan dalam stress, yaitu : stress bagi stressor, stress sebagai respon atau reaksi, dan stress sebagai proses. Oleh karenanya, stress terdiri atas 3 komponen, yaitu stressor, proses, dan respon. Stressor merupakan sumber atau stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang, misalnya suara bising, panas atau kepadatan tinggi. Respon stress adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, pikiran, fisiologis dan perilaku. Proses merupakan proses transaksi antara stressor dengan kapasitas dengan kapasitas diri. Oleh karenanya, istilah stress tidak hanya merujuk pada sumber stress, respon terhadap sumber stress saja, tetapi keterikatan antara ketiganya. Artinya, ada transaksi antara sumber stress dengan kapasitas diri untuk menentukan reaksi stress. Jika sumber stress lebih besar daripada kapasitas diri maka stress negatif akan muncul, sebaiknya sumber tekanan sama dengan atau kurang sedikit dari kapasitas diri maka stress positif akan muncul. Dalam kaitannnya dengan stress lingkungan, ada transaksi antara karakteristik lingkungan dengan karakteristik individu yang menentukan apakah situasi yang menekan tersebut menimbulkan stress atau tidak. Udara panas bagi sebagian orang menurunkan kinerja, tetapi bagi orang lain yang terbiasa tinggal di daerah gurun, udara panas tidak menghambat kinerja.
E. Peran Stress dalam Memahami Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir manusia. Dalam kehidupannya, manusia selalu berinteraksi dan tergantung dengan lingkungan. Keadaan lingkungan yang kondusif akan membuat manusia nyaman dan selalu dalam keadaan homeostasis. Namun, lingkungan terkadang memberikan efek negatif pada manusia yang dapat menyebabkan stress. Stress tidak dapat dihindarkan. Namun demikian, dengan memahami stressor dan stress itu sendiri, kita dapat meminimalkan stress yang tidak diperlukan, dan membuat diri kita lebih sehat , baik secara fisik , maupun mental. Untuk itulah kita perlu belajar untuk hidup bersama dengan stress. Beberapa upaya yang dapat dilakukan manusia untuk meminimalisasikan munculnya stress antara lain dengan beristirahat cukup, berolahraga teratur, rekreasi, menjaga menu dan pola makan. Namun, apabila telah terjadi stress, maka dapat ditanggulangi dengan cara coping yaitu dengan coping masalah dan coping emosi.
Sumber :
http://yh4princ3ss.wordpress.com/2010/04/19/pengertian-stress/
http://akperunipdu.blogspot.com/2008/05/stress-dan-adaptasi.html
http://kasturi82.blogspot.com/2009/04/jenis-jenis-stres.html
Long C Barbara, 1996, Perawatan Medikal Bedah, Yayasan IAPK, Pajajaran Bandung.
Kozier Erb, Fundamental Of Nursing : Concept Process and practice, Addison Weslwy Publishing co, USA, 1991.
Smeltzer bare, 2002, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner & studdarth edisi 8 , EGC, Jakarta.
Selasa, 05 April 2011
Privasi
A. Pengertian Privasi
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha suapaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986)
Kemampuan seseorang untuk mengatur informasi mengenai dirinya sendiri.
[Craig van Slyke dan France BĂ©langer]
Hak dari masing-masing individu untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan untuk apa penggunaan informasi mengenai mereka dalam hal berhubungan dengan individu lain.
[Alan Westin]
Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekankan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain.
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki oleh seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar dengan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain, dengan cara mendekati atau menjahuinya. Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari prvasi tergantung dari pola pola perilaku dalam konteks budaya dan dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu.
Rapoport (dalam Soesilo,1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & deaux, 1981) dan ahli ahli lain (seperti Bates, 1964; Kira, 1996 dalam Altman, 1975) yang mengatakan bahwa pribasi menunjukan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya.
Altman (1975), hampir sama dengan yang dikatakan Rapoport, mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Menurutnya privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi ini mengandung beberapa pengertian yang lebih luas. Pertama unit sosial yang digambarkan bisa berupa hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dan seterusnya. Kedua, penjelasan mengenai privasi sebagai proses dua arah; yaitu pengontrolan input yang masuk ke individu dari luar atau output dari individu ke pihak lain. Ketiga, definisi ini menunjukan suatu control yang selektis atau suatu proses yang aktif dan dinamis.
B. Faktor faktor yang mempengaruhi privasi
Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional dan faktor budaya.
Faktor personal. Marshal (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonym dan serve saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagaian besar waktunya di kota akan lebih memilih keadaan anonym dan intimacy.
Sementara itu Walden dan kawan kwan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi. Dalam sebuah penelitian pada para penghuni asrama ditemukan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbedaan dalam merespon perbedaan keadaan antara yang berisi dua orang dengan ruangan yang berisi, sedaangkan subjek wanita tidak mempermasalah keadaan dalam dua ruangan tersebut. Hal itu menunjukan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Faktor situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasaan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan beberapa besar lingkungan mengijinkan orang orang di dalam untuk menyendiri (Gifford, 1987).
Faktor budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya memandang bahwa pada tiap tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyak privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987). Dua buah studi tersebut.
Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat arab, keluarga keluarga menginginkan tinggal di dalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya. Hasil pengamatan Gifford (1987) di suatu desa di bagian selatan India menunjukan bahwa semua keluarga memiliki rumah yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya. Orang orang desa tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukan bahwa pengamatan yang dangkal seringkali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antara orang arab dengan orang India.
C. Pengaruh privasi terhadap prilaku
Altaman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkan maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari hari. Menurutnya orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaaan yang tidak menyenangkan.
Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbuakaan memabantu individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan utnuk menarik diri ke dalam pribasi dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakan saat berurusan dengan orang orang “sulit”. Sementara hal yang senada diungkapkan oleh westin bahwa saat saat kita mendapatkan privasi seperti apa yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari hari.
Selain itu, privasi juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal dan menilai diri sendiri. Proses mengenal dan menilai diri ini tergantung pada kemampuan untuk mengatur sifat dan gaya interaksi sosial dengan orang lain. Bila kita tidak dapat mengontrol interaksi dengan orang lain, kita akan memberikan informasi yang negative tentang kompetensi pribadi kita (Holahan, 1982) atau akan terjadi proses ketelanjangan sosial dan proeses deindividuasi (Sarwono, 1992)
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks di dalam kelompok sosial; kedua privasi membantu kita memantapkan perasaan identitas pribadi.
D. Privasi dalam konteks budaya
Menurut Altman (1975) “ruang keluarga” di dalam rumah pada rumah rumah di daerah pinggiran Amerika Serikat umumnya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Rumah rumah disana menggunakan ruang ruang tertentu seperti ruang baca, ruang tidur dan kamar mandi sebagi temapat untuk menyendiri dan tempat untuk berpikir. Dengan cara itu seseorang yang tidak memiliki cukup ruang di dalam rumah dapat memperoleh privasi secara maksimal. Selama ini kita terpaku bahwa suatu desain tertentu memiliki fungsi tunggal, sebagai ruang untuk berinteraksi secara bebas atau sebaliknya secara berlebihan, tetapi bukan untuk keduanya sekaligus. Oleh karena itu untuk mencapai privasi yang berbeda kita harus pergi ke suatu tempat yang lain.
SUMBER :
epository.binus.ac.id/content/IF802/IF80286659.ppt
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab6-privasi.pdf
http://niahidayati.net/arti-privasi-buat-anak.html
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha suapaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986)
Kemampuan seseorang untuk mengatur informasi mengenai dirinya sendiri.
[Craig van Slyke dan France BĂ©langer]
Hak dari masing-masing individu untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan untuk apa penggunaan informasi mengenai mereka dalam hal berhubungan dengan individu lain.
[Alan Westin]
Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekankan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain.
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki oleh seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar dengan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain, dengan cara mendekati atau menjahuinya. Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari prvasi tergantung dari pola pola perilaku dalam konteks budaya dan dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu.
Rapoport (dalam Soesilo,1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & deaux, 1981) dan ahli ahli lain (seperti Bates, 1964; Kira, 1996 dalam Altman, 1975) yang mengatakan bahwa pribasi menunjukan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya.
Altman (1975), hampir sama dengan yang dikatakan Rapoport, mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Menurutnya privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi ini mengandung beberapa pengertian yang lebih luas. Pertama unit sosial yang digambarkan bisa berupa hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dan seterusnya. Kedua, penjelasan mengenai privasi sebagai proses dua arah; yaitu pengontrolan input yang masuk ke individu dari luar atau output dari individu ke pihak lain. Ketiga, definisi ini menunjukan suatu control yang selektis atau suatu proses yang aktif dan dinamis.
B. Faktor faktor yang mempengaruhi privasi
Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional dan faktor budaya.
Faktor personal. Marshal (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonym dan serve saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagaian besar waktunya di kota akan lebih memilih keadaan anonym dan intimacy.
Sementara itu Walden dan kawan kwan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi. Dalam sebuah penelitian pada para penghuni asrama ditemukan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbedaan dalam merespon perbedaan keadaan antara yang berisi dua orang dengan ruangan yang berisi, sedaangkan subjek wanita tidak mempermasalah keadaan dalam dua ruangan tersebut. Hal itu menunjukan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Faktor situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasaan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan beberapa besar lingkungan mengijinkan orang orang di dalam untuk menyendiri (Gifford, 1987).
Faktor budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya memandang bahwa pada tiap tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyak privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987). Dua buah studi tersebut.
Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat arab, keluarga keluarga menginginkan tinggal di dalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya. Hasil pengamatan Gifford (1987) di suatu desa di bagian selatan India menunjukan bahwa semua keluarga memiliki rumah yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya. Orang orang desa tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukan bahwa pengamatan yang dangkal seringkali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antara orang arab dengan orang India.
C. Pengaruh privasi terhadap prilaku
Altaman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkan maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari hari. Menurutnya orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaaan yang tidak menyenangkan.
Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbuakaan memabantu individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan utnuk menarik diri ke dalam pribasi dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakan saat berurusan dengan orang orang “sulit”. Sementara hal yang senada diungkapkan oleh westin bahwa saat saat kita mendapatkan privasi seperti apa yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari hari.
Selain itu, privasi juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal dan menilai diri sendiri. Proses mengenal dan menilai diri ini tergantung pada kemampuan untuk mengatur sifat dan gaya interaksi sosial dengan orang lain. Bila kita tidak dapat mengontrol interaksi dengan orang lain, kita akan memberikan informasi yang negative tentang kompetensi pribadi kita (Holahan, 1982) atau akan terjadi proses ketelanjangan sosial dan proeses deindividuasi (Sarwono, 1992)
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks di dalam kelompok sosial; kedua privasi membantu kita memantapkan perasaan identitas pribadi.
D. Privasi dalam konteks budaya
Menurut Altman (1975) “ruang keluarga” di dalam rumah pada rumah rumah di daerah pinggiran Amerika Serikat umumnya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Rumah rumah disana menggunakan ruang ruang tertentu seperti ruang baca, ruang tidur dan kamar mandi sebagi temapat untuk menyendiri dan tempat untuk berpikir. Dengan cara itu seseorang yang tidak memiliki cukup ruang di dalam rumah dapat memperoleh privasi secara maksimal. Selama ini kita terpaku bahwa suatu desain tertentu memiliki fungsi tunggal, sebagai ruang untuk berinteraksi secara bebas atau sebaliknya secara berlebihan, tetapi bukan untuk keduanya sekaligus. Oleh karena itu untuk mencapai privasi yang berbeda kita harus pergi ke suatu tempat yang lain.
SUMBER :
epository.binus.ac.id/content/IF802/IF80286659.ppt
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab6-privasi.pdf
http://niahidayati.net/arti-privasi-buat-anak.html
Senin, 28 Maret 2011
Teritorialitas
A. Pengertian Teritorialitas
Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan lain. Dengan demikian, menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar atau merupakan suatu territorial primer.
Apa perbedaan ruang personal dengan teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan de War (1963), bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.
B. Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas. Yaitu:
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu.
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar.
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan kebuthan estetika.
Porteus (dalam Lang, 1987) mengindentifikasikan 3 kumpulan tingkay spasial yang saling terkait satu sama lain:
1. Personal Space, yang telah banyak dibahas dimuka.
2. Home Base, ruang ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, seting seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara khusus pada desain lingkungan maka Hussein El-Sharkawy (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan empat teritori yaitu: attached, central, supporting dan peripheral.
1. Attached Territory adalah “gelembung ruang” sebagaimana telah dibahas dalam ruang personal
2. Central Territory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi
3. Supporting Territory, adalah ruang ruang yang bersifat semi privat dan semi public. Pada semi privat terbentuknya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk/santai di tepi kolam renang atau area area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan tumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang ruang semi public antara lain adalah: salah satu sudut ruangan dalam took, kedai minum, atau jalan kecil di depan rumah. Semi privat cenderung untuk dimiliki sedangkan semi public tidak dimiliki oleh pemakai.
4. Peripheral Territory adalah ruang public yaitu area area yang dipakai oleh individu individu atau suatu kelompok tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya.
Sementara itu Altman membagi teritorialitas menjadi tiga yaitu, territorial primer, territorial sekunder dan territorial umum.
1. Teritorial Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam territorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah Negara dan sebagainya.
2. Teritorial Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Territorial ini dapat dipergunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan terhadap kelompok itu. Sifat territorial sekunder adalah semi publilk. Yang termasuk dalam territorial ini adalah sirkulasi lalu lintas di dalam kantor, toilet, zona servis dan sebagainya.
3. Teritorial Umum
Territorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan aturan yang lazim di dalam masyarakat di mana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh territorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung kora, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, territorial umum dapat dibagi menjadi tiga: Stalls, Turns dan Use Space.
C. Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Suatu studi menarik dilakukan oleh Smith (dalam Gifford, 1987) yang melakukan studi tentang penggunaan pantai orang orang perancis dan jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal di Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan Edney (dalam Gifford, 1987). Hasil dari kedua penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan pantai antara orang perancis, jerman dan amerika membuktikan sesuatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dalam hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menuntut ruang yang lebih kecil setiap orang. Kelompok yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntut ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang jerman membuat lebih banyak tanda. Mereka seringkali menegakkan penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertentu dan merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya, ukuran teritorialitas ternyata berbeda diantara ketiga budaya tersebut, walaupun dengan bentuk yang dapat dikatakan sama. Orang jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang lebih besar, tetapi pada ketiga budaya maupun dalam pembagian kelompok kelompok menandai teritorialitas dengan suatu lingkaran yang sama. Orang jerman lebih sering menuntut teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai territorial dalam bentuk elpis dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.
Sumber:
Elearning.gunadarma.ac.id
http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/173682312201007542.pdf
http://yuliaonarchitecture.wordpress.com/2010/01/23/pendekatan-psikologi-arsitektur-dalam-perancangan-ruang-terbuka-hijau-rth-di-kota-kota-multikultural/
Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan lain. Dengan demikian, menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar atau merupakan suatu territorial primer.
Apa perbedaan ruang personal dengan teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan de War (1963), bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.
B. Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas. Yaitu:
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu.
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar.
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan kebuthan estetika.
Porteus (dalam Lang, 1987) mengindentifikasikan 3 kumpulan tingkay spasial yang saling terkait satu sama lain:
1. Personal Space, yang telah banyak dibahas dimuka.
2. Home Base, ruang ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, seting seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara khusus pada desain lingkungan maka Hussein El-Sharkawy (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan empat teritori yaitu: attached, central, supporting dan peripheral.
1. Attached Territory adalah “gelembung ruang” sebagaimana telah dibahas dalam ruang personal
2. Central Territory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi
3. Supporting Territory, adalah ruang ruang yang bersifat semi privat dan semi public. Pada semi privat terbentuknya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk/santai di tepi kolam renang atau area area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan tumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang ruang semi public antara lain adalah: salah satu sudut ruangan dalam took, kedai minum, atau jalan kecil di depan rumah. Semi privat cenderung untuk dimiliki sedangkan semi public tidak dimiliki oleh pemakai.
4. Peripheral Territory adalah ruang public yaitu area area yang dipakai oleh individu individu atau suatu kelompok tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya.
Sementara itu Altman membagi teritorialitas menjadi tiga yaitu, territorial primer, territorial sekunder dan territorial umum.
1. Teritorial Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam territorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah Negara dan sebagainya.
2. Teritorial Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Territorial ini dapat dipergunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan terhadap kelompok itu. Sifat territorial sekunder adalah semi publilk. Yang termasuk dalam territorial ini adalah sirkulasi lalu lintas di dalam kantor, toilet, zona servis dan sebagainya.
3. Teritorial Umum
Territorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan aturan yang lazim di dalam masyarakat di mana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh territorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung kora, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, territorial umum dapat dibagi menjadi tiga: Stalls, Turns dan Use Space.
C. Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Suatu studi menarik dilakukan oleh Smith (dalam Gifford, 1987) yang melakukan studi tentang penggunaan pantai orang orang perancis dan jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal di Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan Edney (dalam Gifford, 1987). Hasil dari kedua penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan pantai antara orang perancis, jerman dan amerika membuktikan sesuatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dalam hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menuntut ruang yang lebih kecil setiap orang. Kelompok yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntut ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang jerman membuat lebih banyak tanda. Mereka seringkali menegakkan penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertentu dan merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya, ukuran teritorialitas ternyata berbeda diantara ketiga budaya tersebut, walaupun dengan bentuk yang dapat dikatakan sama. Orang jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang lebih besar, tetapi pada ketiga budaya maupun dalam pembagian kelompok kelompok menandai teritorialitas dengan suatu lingkaran yang sama. Orang jerman lebih sering menuntut teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai territorial dalam bentuk elpis dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.
Sumber:
Elearning.gunadarma.ac.id
http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/173682312201007542.pdf
http://yuliaonarchitecture.wordpress.com/2010/01/23/pendekatan-psikologi-arsitektur-dalam-perancangan-ruang-terbuka-hijau-rth-di-kota-kota-multikultural/
Senin, 21 Maret 2011
Personal Space (Ruang Personal)
A. Pengertian Ruang Personal
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas batas disekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batas batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang dan kadang kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasarkan hasil hasil penelitian antara lain : Pertama ruang personal adalah batas batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain. Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. Ketiga, pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi. Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan, stress dan bahkan perkelahian. Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi dan searah.
Ada kecenderungan dari para peneliti untuk menyamakan ruang personal dengan suatu gelembung yang mengepung kita dan memiliki sejumlah kegunaan. Sebagai contoh, Hayduk percaya bahwa ruang personal merupakan suatu bentuk tiga dimensional. Umumnya berbentuk silinder dan dari bentuknya kita dapat melihat bahwa bentuk tersebut semakin menyempit sampai ke bagian bawah tubuh kita.
Dengan definisi ruang personal sebagai “batas yang tak terlihat yang mengelilingi kita, dimana orang lain tidak dapat melanggarnya”, maka ide ini dapat dikonotasikan secara jelas secara visual, daripada pemahaman yang hanya ditulis secara teoritis.
Edwad Hall, seorang peneliti di bidang ruang personal, membagi jarak antar personal ke dalam 8 bagian. Menurutnya terjadi gradasi jarak berdasarkan tingkat keakraban antar personal. Kedelapan jarak tersebut dikelompokkan ke dalam empat jarak utama, yaitu:
1. Jarak Intim
a. Jarak Intim Dekat (0-6 inchi atau 0-15 cm), yaitu jarak yang muncul pada kondisi memeluk, menenangkan, percintaan, pergulatan (olahraga) atau kontak penuh dengan orang lain. Orang-orang tidak hanya berinteraksi pada situasi intim, atau melakukan kegiatan berdasarkan peraturan (gulat), tapi juga bisa terjadi pada kondisi emosi negatif (mis: manajer bola basket yang bertengkar dengan wasit).
b. Jarak Intimm Jauh (6-18 inc atau 15-45 cm), mewakili hubungan yang cukup erat, misalnya seseorang yang membisikan sesuatu ke temannya,
2. Jarak Personal
a. Jarak Personal Dekat (18-30 inc atau 45-75 cm), yang berlaku bagi orang-orang yang saling mengenal satu sama lain dalam konteks yang positif. Biasanya diwakili oleh orang yang saling berteman atau pasangan yang sedang berbahagia.
b. Jarak Personal Jauh (75 cm-1,2 m), adalah jarak yang digunakan oleh orang-orang yang berteman tapi tidak saling akrab. Biasanya jika kita menjumpai dua orang yang bercakap pada jarak ini maka hampir bisa dipastikan bahwa mereka adalah berteman tapi tidak saling akrab,
3. Jarak Sosial
a. Jarak Sosial Dekat (1,2 – 2 m), terjadi pada situasi ketika kita diperkenalkan kepada kawan ibu kita ketika bertemu di super market,
b. Jarak Sosial Jauh (2-3,5 m), umumnya terjadi ketika melakukan transaksi bisnis resmi. Pada situasi ini sangat kecil atau sama sekali tidak ada suasana pertemanan, karena biasanya masing-masing perusahaan mengutus wakil untuk berinteraksi,
4. Jarak Publik
a. Jarak Publik Dekat (3,5-7 m), biasanya digunakan oleh seorang dosen yang mengajar kelas theater yang terdiri dari ratusan murid di mana jika berbicara harus dari jarak yang tepat sehingga suaranya terdengar di seluruh penjuru ruangan. Jika kita berbicara kepada 30-40 orang, kira-kira jarak inilah yang umum kita pakai agar suara kita bisa terdengar jelas oleh masing-masing orang,
b. Jarak Publik Jauh (7 m atau lebih), biasanya jarak yang disediakan jika ada interaksi masyarakat umum dengan seorang tokoh penting. Akan tetapi jika tokoh itu ingin bercakap maka umumnya dia akan mendekat.
beberapa unsur yang mempengaruhi jarak Ruang Personal seseorang, yaitu:
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang RP ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis
B. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam studi lintas budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman, 1976) mengamati bahwa norma dan adapt istiadat dari kelompok budaya dan etrnik yang berbeda akan tercemin dari penggunaan ruang (space)nya seperti susuanan perbaot, konfigurasi tempat tinggal dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya. Hall menggambarkan secara kualitatif bagaimana anggota dari bermacam macam kelompok budaya tersebut memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu, orang Inggris merupakan orang orang pribadi (private people). Akan tertapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana sarana verbal dan nonverbal (seperti karakter suara dan kontak mata) dibandingkan dengan sarana fisik atau lingkungan. Orang orang perancis berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakan bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.
Dalam eksperimen Waston dan Graves (dalam Grifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sample kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang diminta dating ke laboratorium. Siswa siswa ini diberitahu bahwa mereka akan diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertama terdiri dari orang orang Arab dan kelompok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rata rata jarak interpersonal yang diapakai orang Arab kira kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Sumber :
Elearning gunadarma
http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/
Environmental Psychology, Principles and Practices (Robert Gifford, 1997)
http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PSIKOLOGI/M.ARIES/&file=Smt%204_PG584_Psikologi%20Lingkungan_sdh.pdf
http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/E%20-%20FPTK/JUR.%20PEND.%20TEKNIK%20ARSITEKTUR/196212311988032%20-%20RR.%20TJAHYANI%20BUSONO/ERGONOMIKA/&file=PSIKOLOGI%20RUANG.pdf
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas batas disekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batas batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang dan kadang kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasarkan hasil hasil penelitian antara lain : Pertama ruang personal adalah batas batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain. Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. Ketiga, pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi. Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan, stress dan bahkan perkelahian. Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi dan searah.
Ada kecenderungan dari para peneliti untuk menyamakan ruang personal dengan suatu gelembung yang mengepung kita dan memiliki sejumlah kegunaan. Sebagai contoh, Hayduk percaya bahwa ruang personal merupakan suatu bentuk tiga dimensional. Umumnya berbentuk silinder dan dari bentuknya kita dapat melihat bahwa bentuk tersebut semakin menyempit sampai ke bagian bawah tubuh kita.
Dengan definisi ruang personal sebagai “batas yang tak terlihat yang mengelilingi kita, dimana orang lain tidak dapat melanggarnya”, maka ide ini dapat dikonotasikan secara jelas secara visual, daripada pemahaman yang hanya ditulis secara teoritis.
Edwad Hall, seorang peneliti di bidang ruang personal, membagi jarak antar personal ke dalam 8 bagian. Menurutnya terjadi gradasi jarak berdasarkan tingkat keakraban antar personal. Kedelapan jarak tersebut dikelompokkan ke dalam empat jarak utama, yaitu:
1. Jarak Intim
a. Jarak Intim Dekat (0-6 inchi atau 0-15 cm), yaitu jarak yang muncul pada kondisi memeluk, menenangkan, percintaan, pergulatan (olahraga) atau kontak penuh dengan orang lain. Orang-orang tidak hanya berinteraksi pada situasi intim, atau melakukan kegiatan berdasarkan peraturan (gulat), tapi juga bisa terjadi pada kondisi emosi negatif (mis: manajer bola basket yang bertengkar dengan wasit).
b. Jarak Intimm Jauh (6-18 inc atau 15-45 cm), mewakili hubungan yang cukup erat, misalnya seseorang yang membisikan sesuatu ke temannya,
2. Jarak Personal
a. Jarak Personal Dekat (18-30 inc atau 45-75 cm), yang berlaku bagi orang-orang yang saling mengenal satu sama lain dalam konteks yang positif. Biasanya diwakili oleh orang yang saling berteman atau pasangan yang sedang berbahagia.
b. Jarak Personal Jauh (75 cm-1,2 m), adalah jarak yang digunakan oleh orang-orang yang berteman tapi tidak saling akrab. Biasanya jika kita menjumpai dua orang yang bercakap pada jarak ini maka hampir bisa dipastikan bahwa mereka adalah berteman tapi tidak saling akrab,
3. Jarak Sosial
a. Jarak Sosial Dekat (1,2 – 2 m), terjadi pada situasi ketika kita diperkenalkan kepada kawan ibu kita ketika bertemu di super market,
b. Jarak Sosial Jauh (2-3,5 m), umumnya terjadi ketika melakukan transaksi bisnis resmi. Pada situasi ini sangat kecil atau sama sekali tidak ada suasana pertemanan, karena biasanya masing-masing perusahaan mengutus wakil untuk berinteraksi,
4. Jarak Publik
a. Jarak Publik Dekat (3,5-7 m), biasanya digunakan oleh seorang dosen yang mengajar kelas theater yang terdiri dari ratusan murid di mana jika berbicara harus dari jarak yang tepat sehingga suaranya terdengar di seluruh penjuru ruangan. Jika kita berbicara kepada 30-40 orang, kira-kira jarak inilah yang umum kita pakai agar suara kita bisa terdengar jelas oleh masing-masing orang,
b. Jarak Publik Jauh (7 m atau lebih), biasanya jarak yang disediakan jika ada interaksi masyarakat umum dengan seorang tokoh penting. Akan tetapi jika tokoh itu ingin bercakap maka umumnya dia akan mendekat.
beberapa unsur yang mempengaruhi jarak Ruang Personal seseorang, yaitu:
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang RP ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis
B. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam studi lintas budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman, 1976) mengamati bahwa norma dan adapt istiadat dari kelompok budaya dan etrnik yang berbeda akan tercemin dari penggunaan ruang (space)nya seperti susuanan perbaot, konfigurasi tempat tinggal dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya. Hall menggambarkan secara kualitatif bagaimana anggota dari bermacam macam kelompok budaya tersebut memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu, orang Inggris merupakan orang orang pribadi (private people). Akan tertapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana sarana verbal dan nonverbal (seperti karakter suara dan kontak mata) dibandingkan dengan sarana fisik atau lingkungan. Orang orang perancis berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakan bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.
Dalam eksperimen Waston dan Graves (dalam Grifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sample kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang diminta dating ke laboratorium. Siswa siswa ini diberitahu bahwa mereka akan diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertama terdiri dari orang orang Arab dan kelompok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rata rata jarak interpersonal yang diapakai orang Arab kira kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Sumber :
Elearning gunadarma
http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/
Environmental Psychology, Principles and Practices (Robert Gifford, 1997)
http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PSIKOLOGI/M.ARIES/&file=Smt%204_PG584_Psikologi%20Lingkungan_sdh.pdf
http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/E%20-%20FPTK/JUR.%20PEND.%20TEKNIK%20ARSITEKTUR/196212311988032%20-%20RR.%20TJAHYANI%20BUSONO/ERGONOMIKA/&file=PSIKOLOGI%20RUANG.pdf
Senin, 14 Maret 2011
Kesesakan
Kesesakan
A. Pengertian Kesesakan
Pengertian kesesakan (crowding) adalah perasaan subyektif individu terhadap keterbatasan ruang yang ada (Holahan, 1982) atau perasaan subyektif karena terlalu banyak orang lain di sekelilingnya (Gifford, 1987). Kesesakan muncul apabila individu berada dalam posisi terkungkung akibat persepsi subyektif keterbatasan ruang, karena dibatasi oleh system konstruksi bangunan rumah dan terlalu banyaknya stimulus yang tidak diinginkan dapat mengurangi kebebasan masingmasing individu, serta interaksi antar individu semakin sering terjadi, tidak terkendali, dan informasi yang diterima sulit dicerna (Cholidah et al., 1996)
Kepadatan memang dapat mengakibatkan kesesakan (crowding), tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Setidaknya ada tiga konsep yang dapat menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, dan teori ecological model (Stokols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain, 1987). Secara teoritis, ketiga konsep tersebut dapat menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Kenyataan bahwa semakin padat suatu kawasan. Maka semakin banyak informasi yang melintas di hadapan penghuni adalah dinamika yang tida terhindarkan. Bila kemudian informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya, maka mulailah timbul masalah-masalah psikologis. Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu dalam berperilaku sehari-hari. Konsep ini berkaitan erat dengan pendekatan ekologis. Prinsipnya, ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi lagi maka lingkungan alam dan lingkungan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah (Sulistyani et al., 1993).
Dalam suasana padat dan sesak, kondisi psikologis yang negatif mudah timbul yang merupakan faktor penunjang yang kuat untuk munculnya stress dan bermacam aktifitas sosial negatif (Wrightsman dan Deaux, 1981). Bentuk ktifitas sosial negatif yang dapat diakibatkan oleh suasana padat dan sesak, antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik maupun psikis, seperti stres, ekanan darah meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2) munculnya patologi 2002 digitized by USU digital library 7 sosial, seperti kejahatan dan kenakalan remaja; 3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, berkurangnya tingkah laku menolong (prososial), dan kecenderungan berprasangka; 4) menurunnya prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung murung (Holahan, 1982).
Menurut Baum et al.(dalam Evans, 1982), peristiwa atau tekanan yang berasal dari lingkungan yang mengancam keberadaan individu dapat menyebabkan stres. Bila individu tidak dapat menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya, maka akan merasa tertekan dan terganggu dalam berinteraksi dengan lingkungan dan kebebasan individu merasa terancam sehingga mudah mengalami stres.
Kawasan padat dan sesak juga menyebabkan individu lebih selektif dalam berhubungan dengan orang lain, terutama dengan orang yang tidak begitu dikenalnya. Tindakan ini dilakukan individu untuk mengurangi stimuli yang tidak diinginkan yang dapat mengurangi kebebasan individu. Tindakan selektif ini memungkinkan menurunnya keinginan seseorang untuk membantu orang lain (intensi prososial). Perilaku prososial adalah perilaku seseorang yang ditujukan pada orang lain dan memberikan keuntungan fisik maupun psikologis bagi yang dikenakan tindakan tersebut. Perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan kerja sama, membagi, menolong, kejujuran, dermawan serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain (Mussen et al., 1979).
Perilaku prososial sangat penting artinya bagi kesiapan seseorang dalam mengarungi kehidupan sosialnya. Karena dengan kemampuan prososial ini seseorang akan lebih diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan berarti kehadirannya bagi orang lain (Cholidah, 1996).
Dalam pendekatan kognitif, pada teori psikologi lingkungan tentang rasa sesak, Stanley Milgram (1970) menyimpulkan bahwa bila orang dihadapkan pada stimulasi yang terlalu banyak, orang akan mengalami beban indera yang berlebihan dan tidak akan dapat menghadapi semua stimulasi itu. Milgram yakin bahwa beban indera yang berlebihan selalu bersifat tidak menyenangkan dan mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi secara tepat (Evans et al., 1996).
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) bahkan kadang kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dlam suatu kesatuan ruang.
Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat factor:
1. karakteristik seting fisik
2. karakteristik seting sosial
3. karakteristik personal
4. kemampuan beradaptasi
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempir dan kesesakan sosial (sosial crowding) yaitu perasaan sesak mula mula dating dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu. Kelompok kecil dan kejadian kejadian interpersonal.
Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai deficit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas.oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Besar kecilnya ukuran rumah menentukan rasio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil rumah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil rasio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak (crowding) (Ancok, 1989).
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas, jadi rangsangan berupa hal hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.
Pendapat lain dating dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
B. Teori kesesakan
Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yangditerimaindividu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1 979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupur. kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti
(a) kondisi lingkuilgatl fisik yang tidak menyenmgkan
(b) jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
(c) suatu percakapan yang tidak dikehendaki
(d) terlalu banyak mitra interaksi
(e) interaksi yang terjadi dirasa terlah dalam atau terlalu lama
Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial. Wicker(l976) mengemukakan teorinya tentang n~anni~lTge.o ri ini berdiri ataspandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana ha1 itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.
Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesaic bila kepadatan atau kcndisi lain yarlg berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis(psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
C. Faktor Pengaruh Kesesakan
Faktor Personal.
a). Kontrol pribadi dan locus of control
b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
c). Jenis Kelamin dan usia
Faktor Sosial
a). Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan ketladiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu banyak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, teman sekamar, dan proses belajar mereka.
b). Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekarnar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yangdisebabkan karena terbentuknyakoalisi di satu pihakdan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford, 1987).
c). Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.
d). Infomasi yang tersedia
Kesesakan jugcl dipengaruhi o!eh jumlah dan beniul; informzsi yang muncul sebeium dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).
Faktor Fisik.
Penelitian yang dilakukan oleh Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) dan DibyoHartono (1986) dalam hubungannya dengan urutan lantai, menemukan bahwa penghuni lantai yang lebih tinggi merasa tidak terlalu sesak daripada penghuni lantai bawah. Hal itu disebabkan karena semakin sedikitnya kehadiran orang asing pada posisi lantai yang lebih tinggi, sehingga penghuni masih tetap bisa mengontrol interaksinya. Selain itu penghuni lantai atas mempunyai ruang yang lebih terang dan bisamemandang lingkungan yang lebih luas melalui jendelanya daripada penghuni lantai bawah.
D. Pengaruh Kesesakan Pada Perilaku
Pengaruh negative kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan penurunan psikologis, fisiologis dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
Individu yang berada dalam kesesakan akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala gejala psikosomatik dan penyakit penyakit fisik yang serius (Worchel and Cooper, 1983).
Worchel dan Copper (1983) juga mengutip beberapa penelitian yang dilakukan dalam skala kecil, seperti di asrama asrama mahasiswa dan di kampus menunjukkan bahwa klinik kesehatan di kampus lebih banyak di kunjungi oleh mahasiswa mahasiswa yang tinggal di asrama daripada yang tinggal sendiri.
Dari sekian banyak akibat negative kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskan menjadi (1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekankan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain; (2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih; (3) control pribadi yang kurang dan (4) stimulus yang berlebih.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negative pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.
Dapus
Elearning.gunadarma.ac.id
http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-hasnida2.pdf
Cholidah, Lilih; Ancok, Djamaludin; dan Haryanto. 1996. Psikologika Nomor 1 :
Hubungan Kepadatan Dan Kesesakan Dengan Stres Dan Intensi Prososial Pada Remaja Di Pemukiman Padat.
Cowi. 1996. Majalah Kesehatan Perkotaan : Crowding and Health in LowIncome Settlements, Studi Kasus di Jakarta Mei 1993-Juni 1994.Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.
Helmi, Avin Fadilla. 1994. Buletin Psikologi, Tahun II, Nomor 2 : Hidup Di Kota
Semakin Sulit, Bagaimana Strategi Adaptasi Dalam Situasi Kepadatan
Sosial ? Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM.
A. Pengertian Kesesakan
Pengertian kesesakan (crowding) adalah perasaan subyektif individu terhadap keterbatasan ruang yang ada (Holahan, 1982) atau perasaan subyektif karena terlalu banyak orang lain di sekelilingnya (Gifford, 1987). Kesesakan muncul apabila individu berada dalam posisi terkungkung akibat persepsi subyektif keterbatasan ruang, karena dibatasi oleh system konstruksi bangunan rumah dan terlalu banyaknya stimulus yang tidak diinginkan dapat mengurangi kebebasan masingmasing individu, serta interaksi antar individu semakin sering terjadi, tidak terkendali, dan informasi yang diterima sulit dicerna (Cholidah et al., 1996)
Kepadatan memang dapat mengakibatkan kesesakan (crowding), tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Setidaknya ada tiga konsep yang dapat menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, dan teori ecological model (Stokols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain, 1987). Secara teoritis, ketiga konsep tersebut dapat menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Kenyataan bahwa semakin padat suatu kawasan. Maka semakin banyak informasi yang melintas di hadapan penghuni adalah dinamika yang tida terhindarkan. Bila kemudian informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya, maka mulailah timbul masalah-masalah psikologis. Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu dalam berperilaku sehari-hari. Konsep ini berkaitan erat dengan pendekatan ekologis. Prinsipnya, ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi lagi maka lingkungan alam dan lingkungan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah (Sulistyani et al., 1993).
Dalam suasana padat dan sesak, kondisi psikologis yang negatif mudah timbul yang merupakan faktor penunjang yang kuat untuk munculnya stress dan bermacam aktifitas sosial negatif (Wrightsman dan Deaux, 1981). Bentuk ktifitas sosial negatif yang dapat diakibatkan oleh suasana padat dan sesak, antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik maupun psikis, seperti stres, ekanan darah meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2) munculnya patologi 2002 digitized by USU digital library 7 sosial, seperti kejahatan dan kenakalan remaja; 3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, berkurangnya tingkah laku menolong (prososial), dan kecenderungan berprasangka; 4) menurunnya prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung murung (Holahan, 1982).
Menurut Baum et al.(dalam Evans, 1982), peristiwa atau tekanan yang berasal dari lingkungan yang mengancam keberadaan individu dapat menyebabkan stres. Bila individu tidak dapat menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya, maka akan merasa tertekan dan terganggu dalam berinteraksi dengan lingkungan dan kebebasan individu merasa terancam sehingga mudah mengalami stres.
Kawasan padat dan sesak juga menyebabkan individu lebih selektif dalam berhubungan dengan orang lain, terutama dengan orang yang tidak begitu dikenalnya. Tindakan ini dilakukan individu untuk mengurangi stimuli yang tidak diinginkan yang dapat mengurangi kebebasan individu. Tindakan selektif ini memungkinkan menurunnya keinginan seseorang untuk membantu orang lain (intensi prososial). Perilaku prososial adalah perilaku seseorang yang ditujukan pada orang lain dan memberikan keuntungan fisik maupun psikologis bagi yang dikenakan tindakan tersebut. Perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan kerja sama, membagi, menolong, kejujuran, dermawan serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain (Mussen et al., 1979).
Perilaku prososial sangat penting artinya bagi kesiapan seseorang dalam mengarungi kehidupan sosialnya. Karena dengan kemampuan prososial ini seseorang akan lebih diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan berarti kehadirannya bagi orang lain (Cholidah, 1996).
Dalam pendekatan kognitif, pada teori psikologi lingkungan tentang rasa sesak, Stanley Milgram (1970) menyimpulkan bahwa bila orang dihadapkan pada stimulasi yang terlalu banyak, orang akan mengalami beban indera yang berlebihan dan tidak akan dapat menghadapi semua stimulasi itu. Milgram yakin bahwa beban indera yang berlebihan selalu bersifat tidak menyenangkan dan mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi secara tepat (Evans et al., 1996).
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) bahkan kadang kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dlam suatu kesatuan ruang.
Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat factor:
1. karakteristik seting fisik
2. karakteristik seting sosial
3. karakteristik personal
4. kemampuan beradaptasi
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempir dan kesesakan sosial (sosial crowding) yaitu perasaan sesak mula mula dating dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu. Kelompok kecil dan kejadian kejadian interpersonal.
Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai deficit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas.oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Besar kecilnya ukuran rumah menentukan rasio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil rumah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil rasio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak (crowding) (Ancok, 1989).
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas, jadi rangsangan berupa hal hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.
Pendapat lain dating dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
B. Teori kesesakan
Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yangditerimaindividu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1 979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupur. kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti
(a) kondisi lingkuilgatl fisik yang tidak menyenmgkan
(b) jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
(c) suatu percakapan yang tidak dikehendaki
(d) terlalu banyak mitra interaksi
(e) interaksi yang terjadi dirasa terlah dalam atau terlalu lama
Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial. Wicker(l976) mengemukakan teorinya tentang n~anni~lTge.o ri ini berdiri ataspandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana ha1 itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.
Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesaic bila kepadatan atau kcndisi lain yarlg berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis(psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
C. Faktor Pengaruh Kesesakan
Faktor Personal.
a). Kontrol pribadi dan locus of control
b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
c). Jenis Kelamin dan usia
Faktor Sosial
a). Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan ketladiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu banyak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, teman sekamar, dan proses belajar mereka.
b). Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekarnar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yangdisebabkan karena terbentuknyakoalisi di satu pihakdan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford, 1987).
c). Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.
d). Infomasi yang tersedia
Kesesakan jugcl dipengaruhi o!eh jumlah dan beniul; informzsi yang muncul sebeium dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).
Faktor Fisik.
Penelitian yang dilakukan oleh Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) dan DibyoHartono (1986) dalam hubungannya dengan urutan lantai, menemukan bahwa penghuni lantai yang lebih tinggi merasa tidak terlalu sesak daripada penghuni lantai bawah. Hal itu disebabkan karena semakin sedikitnya kehadiran orang asing pada posisi lantai yang lebih tinggi, sehingga penghuni masih tetap bisa mengontrol interaksinya. Selain itu penghuni lantai atas mempunyai ruang yang lebih terang dan bisamemandang lingkungan yang lebih luas melalui jendelanya daripada penghuni lantai bawah.
D. Pengaruh Kesesakan Pada Perilaku
Pengaruh negative kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan penurunan psikologis, fisiologis dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
Individu yang berada dalam kesesakan akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala gejala psikosomatik dan penyakit penyakit fisik yang serius (Worchel and Cooper, 1983).
Worchel dan Copper (1983) juga mengutip beberapa penelitian yang dilakukan dalam skala kecil, seperti di asrama asrama mahasiswa dan di kampus menunjukkan bahwa klinik kesehatan di kampus lebih banyak di kunjungi oleh mahasiswa mahasiswa yang tinggal di asrama daripada yang tinggal sendiri.
Dari sekian banyak akibat negative kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskan menjadi (1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekankan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain; (2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih; (3) control pribadi yang kurang dan (4) stimulus yang berlebih.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negative pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.
Dapus
Elearning.gunadarma.ac.id
http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-hasnida2.pdf
Cholidah, Lilih; Ancok, Djamaludin; dan Haryanto. 1996. Psikologika Nomor 1 :
Hubungan Kepadatan Dan Kesesakan Dengan Stres Dan Intensi Prososial Pada Remaja Di Pemukiman Padat.
Cowi. 1996. Majalah Kesehatan Perkotaan : Crowding and Health in LowIncome Settlements, Studi Kasus di Jakarta Mei 1993-Juni 1994.Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.
Helmi, Avin Fadilla. 1994. Buletin Psikologi, Tahun II, Nomor 2 : Hidup Di Kota
Semakin Sulit, Bagaimana Strategi Adaptasi Dalam Situasi Kepadatan
Sosial ? Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM.
Selasa, 08 Maret 2011
KEPADATAN
A. Pengertian Kepadatan
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari parea ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit riangan (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada disuatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal hal yang negative akibat dari kepadatan.
Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresivitas pada anak anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung), bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama dan tolong menolong sesame anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.
Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negative kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga beraksi lebih negative terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.
Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating. 1979; Stokols dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinterkasi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1979) antara kepadatan dan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
B. Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggalm, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dinpengaruhi oleh unsure unsure yaitu jumlah individu pada setiap ruang,. Jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang dan kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningjat sejalan dengan bertambahnya individu. Altsman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Taylor (dalam Gifford, 1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang disuatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukan sikap dan perilaku yang berbeda pula.
C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
Akibat secara psikis antara lain:
a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stes (Jain 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya
Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) factor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur social dan lain lain akan menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk, 1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadii apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan karena mereka umumnya mampu “mengendalikan” rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.
Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo, 1991) terungkap bahwa komunitas tradisional etnis Cina di Hongkong, Singapura dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideology nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus dibawah satu atap yang sama , telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara suara bising dari anak anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari Negara Negara timur tidak segan untuk menyewakan kamar di dalam rumahnya, untuk memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interkasi social.
Gambaran lain diungkapkan oleh Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negative yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku social, pembunuhan, perkosaan dan tindak criminal lainnya. Sementara itu, di Jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000 orang/Ha pada bagian kota kota tertentu ternyata angka kejahatan/ criminal disana masih lebih rendah.
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari parea ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit riangan (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada disuatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal hal yang negative akibat dari kepadatan.
Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresivitas pada anak anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung), bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama dan tolong menolong sesame anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.
Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negative kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga beraksi lebih negative terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.
Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating. 1979; Stokols dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinterkasi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1979) antara kepadatan dan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
B. Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggalm, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dinpengaruhi oleh unsure unsure yaitu jumlah individu pada setiap ruang,. Jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang dan kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningjat sejalan dengan bertambahnya individu. Altsman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Taylor (dalam Gifford, 1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang disuatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukan sikap dan perilaku yang berbeda pula.
C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
Akibat secara psikis antara lain:
a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stes (Jain 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya
Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) factor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur social dan lain lain akan menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk, 1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadii apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan karena mereka umumnya mampu “mengendalikan” rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.
Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo, 1991) terungkap bahwa komunitas tradisional etnis Cina di Hongkong, Singapura dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideology nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus dibawah satu atap yang sama , telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara suara bising dari anak anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari Negara Negara timur tidak segan untuk menyewakan kamar di dalam rumahnya, untuk memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interkasi social.
Gambaran lain diungkapkan oleh Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negative yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku social, pembunuhan, perkosaan dan tindak criminal lainnya. Sementara itu, di Jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000 orang/Ha pada bagian kota kota tertentu ternyata angka kejahatan/ criminal disana masih lebih rendah.
Senin, 28 Februari 2011
Ambient Condition & Architectural Condition
Dalam hubungannya dengan lingkungan fisik Wrighstman dan Deaux (1981) membedakan dua bentuk lualitas lingkungan yang meliputi :
1. Ambient Condition
Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti suara, cahaya, warna, kualitas udara, tempratur, kelembapan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan filtrasi ruangan.
2. Architectural Condition
Yang tercakup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanen. Misalnya dalam suatu ruangan, yang termasuk di dalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabotan dan dekorasi.
AMBIENT CONDITION DAN ARCHITECTURAL FEATURES
1. AMBIENT CONDITION
Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
Kebisingan
Menurut Ancok (1989)keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi. Emosi yang tidak terkontrol akan mempengaruhi hubungan sosial didalam maupun diluar rumah.
Menurut Rahardjani (1987) kebisingan juga akan berakibat menurunnya kemampuan mendengar dan turunnya konsentrasi belajar pada anak.
Sarwono (1992) menyebutkan tiga factor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising yaitu: Volume, Perkiraan, Pengendalian
Menurut Holahan (1982) kebisingan dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistematis yang secara khusus diasosiasikan dengan stress. Sementara menuruk Crook dan Langdon mengatakan terdapat hubungan antara kebisingan dengan aspek-aspek fisik, dan kesehatan mental.
Suhu dan Polusi Udara
Tingginya suhu udara dan polusi udara akan menimbulkan efek penyakit dan efek perilaku sosial seperti meningkatnya mortalitas, menguransi konsentrasi, perhatian serta timbulnya penyakit-penyakit pernafasan .
Rahardjani (1987) melihat bahwa suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: warna dinding, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni.
Pencahayaan dan Warna
Menurut Fisher dkk. (1984) terdapat banyak efek pencahayaan yang berkaitan dengan perilaku. Pada dasarnya, cahaya mempengaruhi kinerja kita dalam bekerja dan dapat mempengaruhi suasana hati dan perilaku sosial kita.
Warna
Menurut Heimstra dan MC Farling, warna memiliki tiga dimensi yaitu: kecerahan, corak warna, dan kejenuhan. Sedangkan menurt Holahan (1982) dan Mehrabian &Russel warna juga mempunyai efek independen terhadap suasana hati, tingkat pembangkitan, dan sikap; dimana ketiganya mempengaruhi kinerja.
2 ARCHITECTURAL FEATURES
Estetika
Spranger membagi orientasi hidup menjadi 6 kategori, dimana nilai estetis merupakan salah satu siantaranya selain nilai ekonomi, nilai kekuasaan, nilai sosial, nilai religious, dan nilai intelektual. Sedangkan menurut Fisherdkk (1984) salah atu tujuan daridesain adalah memunculkan respon tertentu terhadap seting yang telah disediakan.
Penelitian telah menunjukkan pula bahwa kualitas estetis suatu ruangan dalam konteks keceriaan dan daya tarik dapat mempengaruhi jenis evaluasi yang kita bua ketika berada dalam seting tersebut.
Perabot
Perabot dan pengaturannya dan aspek-aspek lain dari lingkungan ruang merupakan salah satu penentu perilaku yang penting karena dapat mempengaruhi cara orang dalam mempersepsikan ruang tersebut.
Sumber :
Prabowo, H. 1998. “Seri Diktat Kuliah : Pengantar Psikologi Lingkungan”. Depok
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.
www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab3-ambient_condititon_dan_architectural_features.pdf
http://file.upi.edu/Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PSIKOLOGI/195009011981032%20-%20RAHAYU%20GININTASASI/agresi%20dan%20altruisme.pdf
http://perempuanmanies.wordpress.com/2011/02/25/ambient-condition-dan-architectural-condition/
1. Ambient Condition
Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti suara, cahaya, warna, kualitas udara, tempratur, kelembapan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan filtrasi ruangan.
2. Architectural Condition
Yang tercakup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanen. Misalnya dalam suatu ruangan, yang termasuk di dalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabotan dan dekorasi.
AMBIENT CONDITION DAN ARCHITECTURAL FEATURES
1. AMBIENT CONDITION
Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
Kebisingan
Menurut Ancok (1989)keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi. Emosi yang tidak terkontrol akan mempengaruhi hubungan sosial didalam maupun diluar rumah.
Menurut Rahardjani (1987) kebisingan juga akan berakibat menurunnya kemampuan mendengar dan turunnya konsentrasi belajar pada anak.
Sarwono (1992) menyebutkan tiga factor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising yaitu: Volume, Perkiraan, Pengendalian
Menurut Holahan (1982) kebisingan dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistematis yang secara khusus diasosiasikan dengan stress. Sementara menuruk Crook dan Langdon mengatakan terdapat hubungan antara kebisingan dengan aspek-aspek fisik, dan kesehatan mental.
Suhu dan Polusi Udara
Tingginya suhu udara dan polusi udara akan menimbulkan efek penyakit dan efek perilaku sosial seperti meningkatnya mortalitas, menguransi konsentrasi, perhatian serta timbulnya penyakit-penyakit pernafasan .
Rahardjani (1987) melihat bahwa suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: warna dinding, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni.
Pencahayaan dan Warna
Menurut Fisher dkk. (1984) terdapat banyak efek pencahayaan yang berkaitan dengan perilaku. Pada dasarnya, cahaya mempengaruhi kinerja kita dalam bekerja dan dapat mempengaruhi suasana hati dan perilaku sosial kita.
Warna
Menurut Heimstra dan MC Farling, warna memiliki tiga dimensi yaitu: kecerahan, corak warna, dan kejenuhan. Sedangkan menurt Holahan (1982) dan Mehrabian &Russel warna juga mempunyai efek independen terhadap suasana hati, tingkat pembangkitan, dan sikap; dimana ketiganya mempengaruhi kinerja.
2 ARCHITECTURAL FEATURES
Estetika
Spranger membagi orientasi hidup menjadi 6 kategori, dimana nilai estetis merupakan salah satu siantaranya selain nilai ekonomi, nilai kekuasaan, nilai sosial, nilai religious, dan nilai intelektual. Sedangkan menurut Fisherdkk (1984) salah atu tujuan daridesain adalah memunculkan respon tertentu terhadap seting yang telah disediakan.
Penelitian telah menunjukkan pula bahwa kualitas estetis suatu ruangan dalam konteks keceriaan dan daya tarik dapat mempengaruhi jenis evaluasi yang kita bua ketika berada dalam seting tersebut.
Perabot
Perabot dan pengaturannya dan aspek-aspek lain dari lingkungan ruang merupakan salah satu penentu perilaku yang penting karena dapat mempengaruhi cara orang dalam mempersepsikan ruang tersebut.
Sumber :
Prabowo, H. 1998. “Seri Diktat Kuliah : Pengantar Psikologi Lingkungan”. Depok
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.
www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab3-ambient_condititon_dan_architectural_features.pdf
http://file.upi.edu/Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PSIKOLOGI/195009011981032%20-%20RAHAYU%20GININTASASI/agresi%20dan%20altruisme.pdf
http://perempuanmanies.wordpress.com/2011/02/25/ambient-condition-dan-architectural-condition/
Selasa, 22 Februari 2011
Pendekatan Teori Psikologi Lingkungan dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan
A. Latar Belakang Sejarah
Membahas perihal teori teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori teori, baik di dalam maupun di luar psikologi. Beberapa teori tersebut amat luas jangkuannya dan beberapa lagi lebih terfokus. Dalam kaitannya antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme dan psikologi gestalt
B. Beberapa Teori
Beberapa teori dalam psikologi lingkungan antara lain: Teori Arousal, Teori Stimulus berlebihan, Teori Kendala Perilaku, Teori Tingkat Adaptasi, Teori stres Lingkungan dan Teori Ekologi.
1. Teori Arousal (Arousal Theory)
Arousal (pembangkit). Ketika sedang merasakan emosional, kita sering merasa bergairah. Contoh, tingkat yang tinggi dalam keterbangkitan adalah kemarahan, ketakutan dan kenikmatan sedangkan keterbangkitan yang rendah adalah kesedihan dan depresi (Dwi Riyanti & Prabowo, 1997).
Arousal pada umumnya dipengaruhi dari rangsangan yang mengelilingi kita. Kita dapat bosan dan tertidur, jika yang kita hadapi adalah hal hal yang “tidak ada apa apanya”. Suatu materi pelajaran yang tidak menarik dan sedikit sekali memberi manfaat pada apa yang mendengarkan, membuat hampir semua yang mendengarkan tidak bertahan lama mengikutinya.
Teori Arousal dalam psikologi lingkungan, dalam psikologi lingkungan, hubungan antara arousal dengan kinerja seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Tingkat arousal yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah
• Makin tinggi tingkat arousalnya akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula (sarwono, 1992)
Hubungan tersebut dinamakan hukum Yerkes dan Dodson (Sarwono, 1992). Sebagai gambaran lain Veitch dan Arkkelin (1995) memberi contoh bahwa perubahan kinerja amat beragam pada peningkatan suhu pada pekerja wanita, pekerja tambang dan para pekerja beragam jenis laboratorium.
2. Teori Beban Stimulus (Stimulus Load Theory)
Titik sentral dari beban stimulus adalah adanya dugaan bahwa manusia memiliki kapasitas yang terbatas dalam memproses informasi. Ketika input (masukan) melebihi kapasitas, maka orang cenderung untuk mengabaikan beberapa masukan dan mencurahkan perhatian lebih banyak kepada yang lain (Cohen dalam Veitch dan arkkelin, 1995). Umumnya stimulus tertentu yang paling penting diperhatikan dengan alokasi waktu yang banyak dan stimulus yang kurang penting umumnya diabaikan (Sarwono, 1992; Veitch dan Arkkelin, 1995).
3. Teori Kendala Perilaku (Behavioral Constrain Theory)
Teori kendala perilaku memfokuskan kepada kenyataan atau perasaan, kesan yang terbatas dari individu oleh lingkungan. Menurut teori ini, lingkkungan dapat mencegah, mencampuri atau membatasi perilaku penghuni (Stokolos dalam Veitch dan arkkelin, 1995). Teori ini berkeyakinan bahwa dalam suatu situasi tertentu seseorang benar benar kehilangan beberapa tingkatan kendali terhadap lingkungannya (Veitch & Arkkelin, 1995).
Brehm dan Brehm (dalam Veitch dan arkkelin, 1995) menekankan bahwa ketika kita merasakan bahwa kita sedang kehilangan kontrol atau kendali terhadap lingkungan, kita mula mula akan merasa tidak nyaman dan kemudian mencoba untuk menekankan lagi fungsi kendali. Fenomena ini lalu disebut dengan istilah reaktansi psikologis (psychological reactance).
4. Teori Tingkat Adaptasi
Teori tingkat adaptasi mirip dengan teori stimulus berlebih, dimana pada tingkat tertentu suatu stimulus dapat dirumuskan untuk mengoptimalkan perilaku. Stimulus yang berlebihan atau sama halnya yang terlalu kecil dianggap dapat mempengaruhi hilangnya emosi dan tingkah laku. Tatkala semua ahli psikologi lingkungan menekankan interaksi mansia dengan lingkungan, maka teori tingkat adaptasi lebih banyak membicarakannya secara lebih spesifik, yaitu dua proses yang terkait dalam hubungan tersebut: adaptasi dan adjustment. Adaptasi adalah mengubah tingkah laku atau respon respon agar sesuai dengan lingkungannya. Misalnya dalam dingin atau keadaan suhu yang menurun menyebabkan terjadinya otot kaku dan menurun aktivitas motorik. Sementara adjustment adalah mengubah lingkungan agar menjadi lingkungannya, misalnya dalam keadaan dingin bisa saja membakar kayu untuk memanaskan tubuhnya (Sarwono, 1992; Veitch dan Arkkelin, 1995). Salah satu cara tersebut dilakukan seseorang agar tercapai keseimbangan dengan lingkungannya (homeostatis).
Menurut Sarwono (1992) terdapat tiga kategori stimulus yang dijadikan acuan dalam hubungan lingkungan dengan tingkay laku, yaitu :
• Stimulus fisik yang merangsang indra (suara, cahaya, dan suhu udara)
• Stimulus sosial
• Gerakan
5. Teori stres Lingkungan
Teori stres menekankan pada mediasi peran peran fisiiologis, emosi dan kognisi dalam interaksi antara manusia dengan lingkungan. Pada dasarnya hal ini dapat dilihat berkaitan dengan pengindraan manusia dimana suatu respon stres yang terjadi segi segi lingkungan melebihi tingkat yang optimal. Individu lalu meresponnya dengan berbagai cara untuk mengurangi stres. Beberapa bagian dari respon terhadap stres bersifat otomatis. Pada mulanya terdapat adanya reaksi waspada (alarm reaction) terhadap stresor. Lalu diikuti dengan reaski penolakan individu yang secara aktif mencoba melakukan coping terhadap stresor. Akhirnya, jika sumber sumber coping yang habis maka suatu bentuk kelelahan akan terjadi.
Sebagai suatu bentuk coping, ketika individu akan bereaksi terhadap stresor, individu harus menentukan terlebih dahulu strategi berupa menghindar, menyerang secara fisik atau verbal atau mencari kompromi (Sarwono, 1992)
6. Teori Ekologi
Pusat dari pemikiran para ahli teori ekologi adalah gagasan tentang kecocokan manusia dan lingkungannya. Lingkungan dirancang atau barangkali berkembang sehingga memungkinkan terjadinya perilaku tertentu. Seting perilaku menurut istilah Roger Barker (dalam Veitch dan Arkkelin, 1995) adalah evaluasi terhadap kecocokan antara lingkungan dengan perilaku yang terjadi konteks lingkungan tersebut.
Dalam istilah Barker, hubungan tingkah laku dengan lingkungan adalah seperti jalan dua arah (two way street) atau independensi ekologi. Selanjutnya Barker mempelajari hubungan timbal balilk antara lingkungan dengan tingkah laku. Suatu hal yang unik pada teori Barker adalah seting perilaku yang dipandang sebagai faktor tersendiri.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian menurut Veitch dan Arkkelin (1995) terdapat tiga metode penelitian yang lazim digunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah ekspreimen laboratorium, studi korelasi dan eksperimen.
1. Eksperimen Laboratorium
Metode ini memberi kebebasan kepada ekpserimenter untuk memanipulasi secara sistematis variabel yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel variabel yang mengganggu (extraneous variables). Metode ini juka mengukur pengaruh manipulasi manipulasi tersebut. Dengan cara ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini pada umumnya juga melibatkan pemilihan secara random dalam kondisi ekperimen.
Walaupun penelitian laboratorium meningkatkan kepercayaan bahwa hasil pengamatan adalah manipulasi variabel bebas, seorang peneliti masih memiliki hal yang bersifat skeptis mengenai hubungan dalam eksperin tersebut.
2. Studi Korelasi
Studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan hubungan di antara hal hal atau peristiwa peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalm studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai.
Karena studi korelasi amat lemah dalam validitas internal. Belum jelas apakah asosiasi yang terjadi dari pembatas pembatas yang dibuat oleh penelitian sebelumnya. Untuk mudahnya maka dapat dibandingkan bahwa eksperimen laboratorium meminimalkan validitas internal untuk mengelakkan validitas eksternal, sedangkan studi korelasi meminimalkan validitas eksternal tetapi seringkali validitas internalnya lemah.
3. Eksperimen Lapangan
Jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dapay dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapau melalui studi korelasi, maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan memepertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu.
Hal hal yang dapay dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode korelasi ditemukan. Oleh karena itu peneliti mengembangkan kontrol terhadap variabel, menjaga validitas eksternal tertentu
DAPUS
E-LEARNING GUNADARMA BAB 2 PENDEKATAN TEORI DAN METODE PSIKOLOGI LINGKUNGAN
http://www.docstoc.com/docs/20865732/METODE-PENELITIAN-PSIKOLOGI-BELAJAR-DAN-MANFAAT-MEMPELAJARI
http://images.irwannuryana.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SHP55QoKCBwAAB2Xb7w1/Metode%20Penelitian%20dalam%20Psikologi%20Perkembangan.ppt?nmid=104758480
http://www.aguschandra.com/search/metode-penelitian-psikologi-lingkungan/
http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html
Membahas perihal teori teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori teori, baik di dalam maupun di luar psikologi. Beberapa teori tersebut amat luas jangkuannya dan beberapa lagi lebih terfokus. Dalam kaitannya antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme dan psikologi gestalt
B. Beberapa Teori
Beberapa teori dalam psikologi lingkungan antara lain: Teori Arousal, Teori Stimulus berlebihan, Teori Kendala Perilaku, Teori Tingkat Adaptasi, Teori stres Lingkungan dan Teori Ekologi.
1. Teori Arousal (Arousal Theory)
Arousal (pembangkit). Ketika sedang merasakan emosional, kita sering merasa bergairah. Contoh, tingkat yang tinggi dalam keterbangkitan adalah kemarahan, ketakutan dan kenikmatan sedangkan keterbangkitan yang rendah adalah kesedihan dan depresi (Dwi Riyanti & Prabowo, 1997).
Arousal pada umumnya dipengaruhi dari rangsangan yang mengelilingi kita. Kita dapat bosan dan tertidur, jika yang kita hadapi adalah hal hal yang “tidak ada apa apanya”. Suatu materi pelajaran yang tidak menarik dan sedikit sekali memberi manfaat pada apa yang mendengarkan, membuat hampir semua yang mendengarkan tidak bertahan lama mengikutinya.
Teori Arousal dalam psikologi lingkungan, dalam psikologi lingkungan, hubungan antara arousal dengan kinerja seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Tingkat arousal yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah
• Makin tinggi tingkat arousalnya akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula (sarwono, 1992)
Hubungan tersebut dinamakan hukum Yerkes dan Dodson (Sarwono, 1992). Sebagai gambaran lain Veitch dan Arkkelin (1995) memberi contoh bahwa perubahan kinerja amat beragam pada peningkatan suhu pada pekerja wanita, pekerja tambang dan para pekerja beragam jenis laboratorium.
2. Teori Beban Stimulus (Stimulus Load Theory)
Titik sentral dari beban stimulus adalah adanya dugaan bahwa manusia memiliki kapasitas yang terbatas dalam memproses informasi. Ketika input (masukan) melebihi kapasitas, maka orang cenderung untuk mengabaikan beberapa masukan dan mencurahkan perhatian lebih banyak kepada yang lain (Cohen dalam Veitch dan arkkelin, 1995). Umumnya stimulus tertentu yang paling penting diperhatikan dengan alokasi waktu yang banyak dan stimulus yang kurang penting umumnya diabaikan (Sarwono, 1992; Veitch dan Arkkelin, 1995).
3. Teori Kendala Perilaku (Behavioral Constrain Theory)
Teori kendala perilaku memfokuskan kepada kenyataan atau perasaan, kesan yang terbatas dari individu oleh lingkungan. Menurut teori ini, lingkkungan dapat mencegah, mencampuri atau membatasi perilaku penghuni (Stokolos dalam Veitch dan arkkelin, 1995). Teori ini berkeyakinan bahwa dalam suatu situasi tertentu seseorang benar benar kehilangan beberapa tingkatan kendali terhadap lingkungannya (Veitch & Arkkelin, 1995).
Brehm dan Brehm (dalam Veitch dan arkkelin, 1995) menekankan bahwa ketika kita merasakan bahwa kita sedang kehilangan kontrol atau kendali terhadap lingkungan, kita mula mula akan merasa tidak nyaman dan kemudian mencoba untuk menekankan lagi fungsi kendali. Fenomena ini lalu disebut dengan istilah reaktansi psikologis (psychological reactance).
4. Teori Tingkat Adaptasi
Teori tingkat adaptasi mirip dengan teori stimulus berlebih, dimana pada tingkat tertentu suatu stimulus dapat dirumuskan untuk mengoptimalkan perilaku. Stimulus yang berlebihan atau sama halnya yang terlalu kecil dianggap dapat mempengaruhi hilangnya emosi dan tingkah laku. Tatkala semua ahli psikologi lingkungan menekankan interaksi mansia dengan lingkungan, maka teori tingkat adaptasi lebih banyak membicarakannya secara lebih spesifik, yaitu dua proses yang terkait dalam hubungan tersebut: adaptasi dan adjustment. Adaptasi adalah mengubah tingkah laku atau respon respon agar sesuai dengan lingkungannya. Misalnya dalam dingin atau keadaan suhu yang menurun menyebabkan terjadinya otot kaku dan menurun aktivitas motorik. Sementara adjustment adalah mengubah lingkungan agar menjadi lingkungannya, misalnya dalam keadaan dingin bisa saja membakar kayu untuk memanaskan tubuhnya (Sarwono, 1992; Veitch dan Arkkelin, 1995). Salah satu cara tersebut dilakukan seseorang agar tercapai keseimbangan dengan lingkungannya (homeostatis).
Menurut Sarwono (1992) terdapat tiga kategori stimulus yang dijadikan acuan dalam hubungan lingkungan dengan tingkay laku, yaitu :
• Stimulus fisik yang merangsang indra (suara, cahaya, dan suhu udara)
• Stimulus sosial
• Gerakan
5. Teori stres Lingkungan
Teori stres menekankan pada mediasi peran peran fisiiologis, emosi dan kognisi dalam interaksi antara manusia dengan lingkungan. Pada dasarnya hal ini dapat dilihat berkaitan dengan pengindraan manusia dimana suatu respon stres yang terjadi segi segi lingkungan melebihi tingkat yang optimal. Individu lalu meresponnya dengan berbagai cara untuk mengurangi stres. Beberapa bagian dari respon terhadap stres bersifat otomatis. Pada mulanya terdapat adanya reaksi waspada (alarm reaction) terhadap stresor. Lalu diikuti dengan reaski penolakan individu yang secara aktif mencoba melakukan coping terhadap stresor. Akhirnya, jika sumber sumber coping yang habis maka suatu bentuk kelelahan akan terjadi.
Sebagai suatu bentuk coping, ketika individu akan bereaksi terhadap stresor, individu harus menentukan terlebih dahulu strategi berupa menghindar, menyerang secara fisik atau verbal atau mencari kompromi (Sarwono, 1992)
6. Teori Ekologi
Pusat dari pemikiran para ahli teori ekologi adalah gagasan tentang kecocokan manusia dan lingkungannya. Lingkungan dirancang atau barangkali berkembang sehingga memungkinkan terjadinya perilaku tertentu. Seting perilaku menurut istilah Roger Barker (dalam Veitch dan Arkkelin, 1995) adalah evaluasi terhadap kecocokan antara lingkungan dengan perilaku yang terjadi konteks lingkungan tersebut.
Dalam istilah Barker, hubungan tingkah laku dengan lingkungan adalah seperti jalan dua arah (two way street) atau independensi ekologi. Selanjutnya Barker mempelajari hubungan timbal balilk antara lingkungan dengan tingkah laku. Suatu hal yang unik pada teori Barker adalah seting perilaku yang dipandang sebagai faktor tersendiri.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian menurut Veitch dan Arkkelin (1995) terdapat tiga metode penelitian yang lazim digunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah ekspreimen laboratorium, studi korelasi dan eksperimen.
1. Eksperimen Laboratorium
Metode ini memberi kebebasan kepada ekpserimenter untuk memanipulasi secara sistematis variabel yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel variabel yang mengganggu (extraneous variables). Metode ini juka mengukur pengaruh manipulasi manipulasi tersebut. Dengan cara ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini pada umumnya juga melibatkan pemilihan secara random dalam kondisi ekperimen.
Walaupun penelitian laboratorium meningkatkan kepercayaan bahwa hasil pengamatan adalah manipulasi variabel bebas, seorang peneliti masih memiliki hal yang bersifat skeptis mengenai hubungan dalam eksperin tersebut.
2. Studi Korelasi
Studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan hubungan di antara hal hal atau peristiwa peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalm studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai.
Karena studi korelasi amat lemah dalam validitas internal. Belum jelas apakah asosiasi yang terjadi dari pembatas pembatas yang dibuat oleh penelitian sebelumnya. Untuk mudahnya maka dapat dibandingkan bahwa eksperimen laboratorium meminimalkan validitas internal untuk mengelakkan validitas eksternal, sedangkan studi korelasi meminimalkan validitas eksternal tetapi seringkali validitas internalnya lemah.
3. Eksperimen Lapangan
Jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dapay dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapau melalui studi korelasi, maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan memepertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu.
Hal hal yang dapay dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode korelasi ditemukan. Oleh karena itu peneliti mengembangkan kontrol terhadap variabel, menjaga validitas eksternal tertentu
DAPUS
E-LEARNING GUNADARMA BAB 2 PENDEKATAN TEORI DAN METODE PSIKOLOGI LINGKUNGAN
http://www.docstoc.com/docs/20865732/METODE-PENELITIAN-PSIKOLOGI-BELAJAR-DAN-MANFAAT-MEMPELAJARI
http://images.irwannuryana.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SHP55QoKCBwAAB2Xb7w1/Metode%20Penelitian%20dalam%20Psikologi%20Perkembangan.ppt?nmid=104758480
http://www.aguschandra.com/search/metode-penelitian-psikologi-lingkungan/
http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html
Minggu, 13 Februari 2011
Psikologi lingkungan: Latar belakang, Definisi, lingkup, Ambient Condition & Architectural Features
PSIKOLOGI LINGKUNGAN
A. Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan
Adalah Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin mengatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari pribadi dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan
Sebelum mengenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, beberapa istilah lain telah mendahuluinya. Sebelumnya Lewin memberikan istilah ekologi psikologi (psychological ecology) pada tahun 1943. lalu pada tahun 1947 Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku (behaviorak setting). Istilah psikologi arsitektur (architectural psychology) diperkenalkan pada tahun 1961 dan 1966. dan terakhir pada tahun 1968 Harold Proshansky dan William Ittelson psikologi lingkungan (environmental psychology) di CNUY.
Membahas perihal teori-teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori-teori, baik di dalam maupun di luar disiplin psikologi. Beberapa teori tersebut amat luas jangkauannya dan beberapa lagi yang lain lebih terfokus, beberapa amat lemah dalam data empiris dan beberapa yang lain amat kuat. Dalam kaitan antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme, dan psikologi Gestalt (Veitch & Arkkelin, 1995).
Geografi. Beberapa ahli sejarah dan geografi telah mencoba menerangkan jatuh-bangunnya peradaban yang disebabkan oleh karakteristik lingkungan. Sebagai contoh, Toynbee (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengembangkan teori bahwa lingkungan (atau secara lebih spesifik topografi, iklim, vegetasi, ketersediaan air, dan sebagainya) adalah tantangan bagi penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut. Tantangan lingkungan yang ekstrim akan merusak peradaban, sementara tantangan yang terlalu kecil akan mengakibatkan stagnasi kebudayaan. Lebih lanjut Toynbee mengusulkan bahwa tantangan lingkungan pada tingkat menengah juga dapat mempengaruhi perkembangan peradaban. Pada tingkat yang makin berkurang atau sebaliknya makin berlebihan hasilnya justru akan memperlemah pengaruhnya.
Gagasan mengenai tantangan lingkungan dan respon-respon perilakunya meski didasari oleh para penganut geographical determinism, ternyata seringkali merupakan bentuk-bentuk atau variasi-variasi teori yang diterapkan dalam psikologi lingkungan. Sebagai contoh Barry, Child dan Bacon (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengusulkan bahwa kebudayaan masyarakat pertanian (yang tidak nomaden) ternyata menekankan pola asuh pada generasinya berupa: tanggungjawab, ketaatan, dan kepatuhan. Sebaliknya pada kebudayaan nomaden pola asuh yang ditekankan adalah pada kemandirian dan akal.
Perbedaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada kebudayaan pertanian, orang tinggal dan bekerja bersama-sama dalam suatu komunitas yang tanpa mobilitas yang tinggi, sehingga yang dihasilkan adalah organisasi yang teratur. Hal tersebut tentunya akan lebih menekankan pola asuh kepada ketaatan dan kepatuhan. Lain halnya dengan orang nomaden yang lebih menyiapkan generasi mudanya untuk terbiasa dalam menghadapi situasi alamyang berubah dan tidak dapat diramalkan pada saat menjelajahi alam, sehingga yang lebih dibutuhkan adalah kemandirian dan akal. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu seting lingkungan tertentu memberi peluang yang terbaik bagi masyarakat penghuninya untuk mempertahankan diri.
Biologi Ekologi. Perkembangan teori-teori ekologi menunjukkan adanya perhatian terhadap adanya ketergantungan biologi dan sosiologi dalam kaitan hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dimana hal itu secara signifikan mempengaruhi pemikiran-pemikiran psikologi lingkungan. Dengan perkembangan ilmu ekologi, seseorang tidak dianggap terpisah dari lingkungannya, melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan. Pendapat mengenai hubungan yang saling tergantung antara manusia dengan lingkungannya pada saat ini akan tampak pada teori-teori yang dikembangkan pada disiplin psikologi lingkungan. Lingkungan dan penghuninya masih sering dikaji sebagai komponen yang terpisah, meskipun tidak ada keraguan lagi adanya hubungan yang saling tergantung di antara mereka. Behaviorisme. Pengaruh penting lain yang merupakan pemikiran yang datang dari cabang disiplin psikologi sendiri adalah behaviorisme.
Pemikiran kalangan behavioris muncul sebagai reaksi atas kegagalan teori-teori kepribadian untuk menerangkan perilaku manusia. Pada saat ini secara umum dapat diterima bahwa dua hal penting yang menjadi pertimbangan adalah konteks lingkungan dimana suatu perilaku muncul dan variabel-variabel personal (seperti kepribadian atau sikap). Dengan mempertimbangkan kedua hal ini maka akan lebih dapatdiramalkan suatu fenomena manusiadan lingkungannya daripadajika dibuat pengukuran sendiri-sendiri.
Psikologi Gestalt. Psikologi Gestalt berekembang pada saat yang berbarengan dengan
behaviorisme dan lebih menekankan perhatian kepada persepsi dan kognisi sebagai perilaku yang tampak (overt behavior). Prinsip terpenting dari cara kerja kalangan Gestalt ini adalah bahwa objek-objek, orang-orang, dan seting-seting dipersepsi sebagai suatu keseluruhan, dimana hal itu lebih dari sekedar penjumlahan bagian-bagian.
Dari pandangan Gestalt, suatu perilaku didasarkan pada proses kognitif, yang bukan dipengaruhi oleh proses stimulus tetapi dari persepsi terhadap stimulus tersebut. Pengaruh Gestalt pada psikologi lingkungan dapat dilihat antara lain pada kognisi lingkungan, misalnya untuk menjelaskan persepsi, berpikir, dan pemrosesan informasi lingkungan. Dari beberapa perspektif di atas, Veitch & Arkkelin (1995) menekanlan adanya dua hal yang perlu diketahui. Pertama, sebagaimanayang sudah disebutkan di atas bahwa pendekatan yang dipakai pada perspektf-perspektif di atas ada yang amat lebar dalam cakupan dan ada pula yang lemah dalam data empiris. Kedua, tidak ada grand theory dalam psikologi lingkungan, karena tidak ada pendekatan atau perspektif tunggal yang dapat menerangkan hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya secara memuaskan. Hal ini paling tidak disebabkan oleh empat hal:
(a) Tidak ada data yang cukup tersedia dalam kaitan hubungan manusia dengan
lingkungannya, sehingga dapat dipercaya untuk menyatukan teori
(b) Hubungan-hubungan yang dikaji para peneliti amaat sangat beragam
(c) Metode yang digunakan tidak konsisten
(d) Cara pengukuran variabel tidak selalu kompatibel dari suatu seting penelitian ke
penelitian berikutnya
B. Definisi Psikologi Lingkungan
Definisi menyatakan bahwa psikologi lingkungan adalah disiplin yang memperhatinkan dan mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan fisik (Heimstra dan Mc Farling). Dan menurut Gifford yaitu sebagai studi dari transaksi di antara individu dengan seting fisiknya. Ahli lain seperti Carter dan Craik mengatakan bahwa psikologi lingkungan adalah area psikologi yang melakukan konjungsi dan analisis tentang hubungan antara pengalaman dan tindakan tindakan yang berhubungan dengan lingkungan sosiofisik. Emery dan Tryst melihat bahwa hubungan antara menusia dengan lingkungan merupakan suatu jalinan transactional interdependency atau terjadi ketergantungan satu sama lain. Hal ini hampir sama dengan pendapat Giffor, yaitu manusia mempengaruhi lingkungannya, untuk selanjutnya lingkungan akan mempengaruhi manusia, demikian pula sebaliknya.
Menurut Veitch dan Arkkelin mendefinisikan psikologi lingkungan sebagai ilmu perilaku multidipslin yang memilki orientasi dasar dan terapan, yang memfokuskan interrelasi antara perilaku dan pengalaman manusia sebagai individu dengan lingkungan fisik dan sosial.
Psikologi lingkungan adalah ilmu kejiwaan yang mempelajari. Prilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam. Dalam psikologi lingkungan juga dipelajari mengenai kebudayaandan kearifan lokal suatu tempat dalam memandang alam semesta yang memengaruhi sikap dan mental manusia. Apabila kebudayaan dan kearifan lokal kita pahami sebagaiperjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidupnya, maka mawas diri akan menjadi inti pokok dari pelajaran psikologi lingkungan. Soedjatmoko, seorang ahli sosiologi, mengungkapkan harapannya untuk mengangkat mawas diri dari tingkat moralisme semata-mata ke tingkat pengertian psikologis dan historis dan mengenai perilaku manusia. Dalam hal ini beliau memberikan pengertian tentang moralisme dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi
oleh psikologishistoris suatu lingkungan, tempat orang tersebut bersosialisasi dengan masyarakat binaannya.Sementara Hardjowirogo, seorang antropolog, menulis bahwa tidak ada jaminan akan keefektifan mawas diri. Ungkapan itu telah surut menjadi sekadar penghias buah bibir. Perubahan zaman telah membawa pula fungsi mawas diri menjadi pengucapan belaka.
C. Lingkup Psikologi Lingkungan
Proshanksky melihat bahwa psikologi lingkungan memberi perhatian terhadap manusia, tempat serta perilaku dan pengalaman pengalaman manusia dalam hubungan dengan seting fisik. Dimana seseorang tinggal, berinteraksi dan beraktivitas. Sehubungan dengan lingkungan fisik, pusat perhatian psikologi lingkungan adalah lingkungan binaan (built environment).
Ruang lingkup psikologi lingkungan lebih jauh membahas rancangan (desain), organisasi dan pemaknaan ataupun hal hal yang lebih spesifik seperti ruang ruang, bangunan bangunan, ketanggan, rumah sakit dan ruang.
Sosiologi lingkungan yang muncul pada tahun 1970-an merupakan cabang ilmu yang dekat dengan psikologi lingkungan. Perbedaan terletak pada unit analisisnya. Jikalau psikologi lingkungan unit analisisnya adalah manusia dan kumpulan manusia sebagai individu, maka sosiologi lingkungan unit analisisnya dalam masyarakatnya seperti penduduk kota, pemerintah, pengunjung taman rekreasi dan sebagainya. Jenis jenis lingkungan di dalam sosiologi lingkungan yang beberapa diantaranya juga banyak digunakan dalam psikologi lingkungan adalah (Sarwono):
1. Lingkungan alamiah (natural environment) seperti: lautan, hutan dan sebagainya
2. Lingkungan buatan/binaan (built environment) seperti: jalan raya, perumahan, taman, rumah susun dan sebagainya.
3. Lingkungan social.
4. Lingkungan yang dimodifikasi.
Dua jenis lingkungan yang pertama adalah istilah yang juga lazim digunakan dalam psikologi lingkungan. Sementara itu, Veitch dan Arkkelin, sebagaimana disebut di muka menetapkan bahwa psikologi lingkungan merupakan suatu area dari pencarian yang bercabang dari sejumlah displin, seperti biologi, geologi, psikologi, hukum, geografi, ekonomi, sosiologi, kimia, fisika, sejarah, filsafat, beserta sub displin dan rekayasanya. Oleh karena itu berdasarkan ruang lingkupnya, maka psikologi lingkungan ternyata selain membahas seting seting yang berhubungan dengan manusia dan perilakunya juga melibatkan displin ilmu yang beragam.
D. Ambient Condition dan Architectural Features
Dalam hubungan dengan lingkungan fisik Wrighstman dan Deaux (1981) membedakan dua bentuk kualitas lingkungan yang meliputi:
1. Ambient Condition
Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti; seound, cahaya, warna, kualitas udara, temperature dan kelembaban.
2. Architectural Features
Yang tercakup didalamnya adalah seting seting yang bersifat permanent. Misalnya di dalam suatu ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi lay out tiap lantai, desain dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.
Sumber :
http://www.anneahira.com/psikologi-lingkungan.htm
http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf
A. Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan
Adalah Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin mengatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari pribadi dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan
Sebelum mengenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, beberapa istilah lain telah mendahuluinya. Sebelumnya Lewin memberikan istilah ekologi psikologi (psychological ecology) pada tahun 1943. lalu pada tahun 1947 Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku (behaviorak setting). Istilah psikologi arsitektur (architectural psychology) diperkenalkan pada tahun 1961 dan 1966. dan terakhir pada tahun 1968 Harold Proshansky dan William Ittelson psikologi lingkungan (environmental psychology) di CNUY.
Membahas perihal teori-teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori-teori, baik di dalam maupun di luar disiplin psikologi. Beberapa teori tersebut amat luas jangkauannya dan beberapa lagi yang lain lebih terfokus, beberapa amat lemah dalam data empiris dan beberapa yang lain amat kuat. Dalam kaitan antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme, dan psikologi Gestalt (Veitch & Arkkelin, 1995).
Geografi. Beberapa ahli sejarah dan geografi telah mencoba menerangkan jatuh-bangunnya peradaban yang disebabkan oleh karakteristik lingkungan. Sebagai contoh, Toynbee (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengembangkan teori bahwa lingkungan (atau secara lebih spesifik topografi, iklim, vegetasi, ketersediaan air, dan sebagainya) adalah tantangan bagi penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut. Tantangan lingkungan yang ekstrim akan merusak peradaban, sementara tantangan yang terlalu kecil akan mengakibatkan stagnasi kebudayaan. Lebih lanjut Toynbee mengusulkan bahwa tantangan lingkungan pada tingkat menengah juga dapat mempengaruhi perkembangan peradaban. Pada tingkat yang makin berkurang atau sebaliknya makin berlebihan hasilnya justru akan memperlemah pengaruhnya.
Gagasan mengenai tantangan lingkungan dan respon-respon perilakunya meski didasari oleh para penganut geographical determinism, ternyata seringkali merupakan bentuk-bentuk atau variasi-variasi teori yang diterapkan dalam psikologi lingkungan. Sebagai contoh Barry, Child dan Bacon (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengusulkan bahwa kebudayaan masyarakat pertanian (yang tidak nomaden) ternyata menekankan pola asuh pada generasinya berupa: tanggungjawab, ketaatan, dan kepatuhan. Sebaliknya pada kebudayaan nomaden pola asuh yang ditekankan adalah pada kemandirian dan akal.
Perbedaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada kebudayaan pertanian, orang tinggal dan bekerja bersama-sama dalam suatu komunitas yang tanpa mobilitas yang tinggi, sehingga yang dihasilkan adalah organisasi yang teratur. Hal tersebut tentunya akan lebih menekankan pola asuh kepada ketaatan dan kepatuhan. Lain halnya dengan orang nomaden yang lebih menyiapkan generasi mudanya untuk terbiasa dalam menghadapi situasi alamyang berubah dan tidak dapat diramalkan pada saat menjelajahi alam, sehingga yang lebih dibutuhkan adalah kemandirian dan akal. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu seting lingkungan tertentu memberi peluang yang terbaik bagi masyarakat penghuninya untuk mempertahankan diri.
Biologi Ekologi. Perkembangan teori-teori ekologi menunjukkan adanya perhatian terhadap adanya ketergantungan biologi dan sosiologi dalam kaitan hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dimana hal itu secara signifikan mempengaruhi pemikiran-pemikiran psikologi lingkungan. Dengan perkembangan ilmu ekologi, seseorang tidak dianggap terpisah dari lingkungannya, melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan. Pendapat mengenai hubungan yang saling tergantung antara manusia dengan lingkungannya pada saat ini akan tampak pada teori-teori yang dikembangkan pada disiplin psikologi lingkungan. Lingkungan dan penghuninya masih sering dikaji sebagai komponen yang terpisah, meskipun tidak ada keraguan lagi adanya hubungan yang saling tergantung di antara mereka. Behaviorisme. Pengaruh penting lain yang merupakan pemikiran yang datang dari cabang disiplin psikologi sendiri adalah behaviorisme.
Pemikiran kalangan behavioris muncul sebagai reaksi atas kegagalan teori-teori kepribadian untuk menerangkan perilaku manusia. Pada saat ini secara umum dapat diterima bahwa dua hal penting yang menjadi pertimbangan adalah konteks lingkungan dimana suatu perilaku muncul dan variabel-variabel personal (seperti kepribadian atau sikap). Dengan mempertimbangkan kedua hal ini maka akan lebih dapatdiramalkan suatu fenomena manusiadan lingkungannya daripadajika dibuat pengukuran sendiri-sendiri.
Psikologi Gestalt. Psikologi Gestalt berekembang pada saat yang berbarengan dengan
behaviorisme dan lebih menekankan perhatian kepada persepsi dan kognisi sebagai perilaku yang tampak (overt behavior). Prinsip terpenting dari cara kerja kalangan Gestalt ini adalah bahwa objek-objek, orang-orang, dan seting-seting dipersepsi sebagai suatu keseluruhan, dimana hal itu lebih dari sekedar penjumlahan bagian-bagian.
Dari pandangan Gestalt, suatu perilaku didasarkan pada proses kognitif, yang bukan dipengaruhi oleh proses stimulus tetapi dari persepsi terhadap stimulus tersebut. Pengaruh Gestalt pada psikologi lingkungan dapat dilihat antara lain pada kognisi lingkungan, misalnya untuk menjelaskan persepsi, berpikir, dan pemrosesan informasi lingkungan. Dari beberapa perspektif di atas, Veitch & Arkkelin (1995) menekanlan adanya dua hal yang perlu diketahui. Pertama, sebagaimanayang sudah disebutkan di atas bahwa pendekatan yang dipakai pada perspektf-perspektif di atas ada yang amat lebar dalam cakupan dan ada pula yang lemah dalam data empiris. Kedua, tidak ada grand theory dalam psikologi lingkungan, karena tidak ada pendekatan atau perspektif tunggal yang dapat menerangkan hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya secara memuaskan. Hal ini paling tidak disebabkan oleh empat hal:
(a) Tidak ada data yang cukup tersedia dalam kaitan hubungan manusia dengan
lingkungannya, sehingga dapat dipercaya untuk menyatukan teori
(b) Hubungan-hubungan yang dikaji para peneliti amaat sangat beragam
(c) Metode yang digunakan tidak konsisten
(d) Cara pengukuran variabel tidak selalu kompatibel dari suatu seting penelitian ke
penelitian berikutnya
B. Definisi Psikologi Lingkungan
Definisi menyatakan bahwa psikologi lingkungan adalah disiplin yang memperhatinkan dan mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan fisik (Heimstra dan Mc Farling). Dan menurut Gifford yaitu sebagai studi dari transaksi di antara individu dengan seting fisiknya. Ahli lain seperti Carter dan Craik mengatakan bahwa psikologi lingkungan adalah area psikologi yang melakukan konjungsi dan analisis tentang hubungan antara pengalaman dan tindakan tindakan yang berhubungan dengan lingkungan sosiofisik. Emery dan Tryst melihat bahwa hubungan antara menusia dengan lingkungan merupakan suatu jalinan transactional interdependency atau terjadi ketergantungan satu sama lain. Hal ini hampir sama dengan pendapat Giffor, yaitu manusia mempengaruhi lingkungannya, untuk selanjutnya lingkungan akan mempengaruhi manusia, demikian pula sebaliknya.
Menurut Veitch dan Arkkelin mendefinisikan psikologi lingkungan sebagai ilmu perilaku multidipslin yang memilki orientasi dasar dan terapan, yang memfokuskan interrelasi antara perilaku dan pengalaman manusia sebagai individu dengan lingkungan fisik dan sosial.
Psikologi lingkungan adalah ilmu kejiwaan yang mempelajari. Prilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam. Dalam psikologi lingkungan juga dipelajari mengenai kebudayaandan kearifan lokal suatu tempat dalam memandang alam semesta yang memengaruhi sikap dan mental manusia. Apabila kebudayaan dan kearifan lokal kita pahami sebagaiperjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidupnya, maka mawas diri akan menjadi inti pokok dari pelajaran psikologi lingkungan. Soedjatmoko, seorang ahli sosiologi, mengungkapkan harapannya untuk mengangkat mawas diri dari tingkat moralisme semata-mata ke tingkat pengertian psikologis dan historis dan mengenai perilaku manusia. Dalam hal ini beliau memberikan pengertian tentang moralisme dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi
oleh psikologishistoris suatu lingkungan, tempat orang tersebut bersosialisasi dengan masyarakat binaannya.Sementara Hardjowirogo, seorang antropolog, menulis bahwa tidak ada jaminan akan keefektifan mawas diri. Ungkapan itu telah surut menjadi sekadar penghias buah bibir. Perubahan zaman telah membawa pula fungsi mawas diri menjadi pengucapan belaka.
C. Lingkup Psikologi Lingkungan
Proshanksky melihat bahwa psikologi lingkungan memberi perhatian terhadap manusia, tempat serta perilaku dan pengalaman pengalaman manusia dalam hubungan dengan seting fisik. Dimana seseorang tinggal, berinteraksi dan beraktivitas. Sehubungan dengan lingkungan fisik, pusat perhatian psikologi lingkungan adalah lingkungan binaan (built environment).
Ruang lingkup psikologi lingkungan lebih jauh membahas rancangan (desain), organisasi dan pemaknaan ataupun hal hal yang lebih spesifik seperti ruang ruang, bangunan bangunan, ketanggan, rumah sakit dan ruang.
Sosiologi lingkungan yang muncul pada tahun 1970-an merupakan cabang ilmu yang dekat dengan psikologi lingkungan. Perbedaan terletak pada unit analisisnya. Jikalau psikologi lingkungan unit analisisnya adalah manusia dan kumpulan manusia sebagai individu, maka sosiologi lingkungan unit analisisnya dalam masyarakatnya seperti penduduk kota, pemerintah, pengunjung taman rekreasi dan sebagainya. Jenis jenis lingkungan di dalam sosiologi lingkungan yang beberapa diantaranya juga banyak digunakan dalam psikologi lingkungan adalah (Sarwono):
1. Lingkungan alamiah (natural environment) seperti: lautan, hutan dan sebagainya
2. Lingkungan buatan/binaan (built environment) seperti: jalan raya, perumahan, taman, rumah susun dan sebagainya.
3. Lingkungan social.
4. Lingkungan yang dimodifikasi.
Dua jenis lingkungan yang pertama adalah istilah yang juga lazim digunakan dalam psikologi lingkungan. Sementara itu, Veitch dan Arkkelin, sebagaimana disebut di muka menetapkan bahwa psikologi lingkungan merupakan suatu area dari pencarian yang bercabang dari sejumlah displin, seperti biologi, geologi, psikologi, hukum, geografi, ekonomi, sosiologi, kimia, fisika, sejarah, filsafat, beserta sub displin dan rekayasanya. Oleh karena itu berdasarkan ruang lingkupnya, maka psikologi lingkungan ternyata selain membahas seting seting yang berhubungan dengan manusia dan perilakunya juga melibatkan displin ilmu yang beragam.
D. Ambient Condition dan Architectural Features
Dalam hubungan dengan lingkungan fisik Wrighstman dan Deaux (1981) membedakan dua bentuk kualitas lingkungan yang meliputi:
1. Ambient Condition
Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti; seound, cahaya, warna, kualitas udara, temperature dan kelembaban.
2. Architectural Features
Yang tercakup didalamnya adalah seting seting yang bersifat permanent. Misalnya di dalam suatu ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi lay out tiap lantai, desain dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.
Sumber :
http://www.anneahira.com/psikologi-lingkungan.htm
http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf
Langganan:
Postingan (Atom)