Senin, 28 Februari 2011

Ambient Condition & Architectural Condition

Dalam hubungannya dengan lingkungan fisik Wrighstman dan Deaux (1981) membedakan dua bentuk lualitas lingkungan yang meliputi :

1. Ambient Condition
Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti suara, cahaya, warna, kualitas udara, tempratur, kelembapan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan filtrasi ruangan.

2. Architectural Condition
Yang tercakup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanen. Misalnya dalam suatu ruangan, yang termasuk di dalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabotan dan dekorasi.

AMBIENT CONDITION DAN ARCHITECTURAL FEATURES

1. AMBIENT CONDITION
Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
Kebisingan
Menurut Ancok (1989)keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi. Emosi yang tidak terkontrol akan mempengaruhi hubungan sosial didalam maupun diluar rumah.
Menurut Rahardjani (1987) kebisingan juga akan berakibat menurunnya kemampuan mendengar dan turunnya konsentrasi belajar pada anak.
Sarwono (1992) menyebutkan tiga factor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising yaitu: Volume, Perkiraan, Pengendalian
Menurut Holahan (1982) kebisingan dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistematis yang secara khusus diasosiasikan dengan stress. Sementara menuruk Crook dan Langdon mengatakan terdapat hubungan antara kebisingan dengan aspek-aspek fisik, dan kesehatan mental.
Suhu dan Polusi Udara
Tingginya suhu udara dan polusi udara akan menimbulkan efek penyakit dan efek perilaku sosial seperti meningkatnya mortalitas, menguransi konsentrasi, perhatian serta timbulnya penyakit-penyakit pernafasan .
Rahardjani (1987) melihat bahwa suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: warna dinding, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni.
Pencahayaan dan Warna
Menurut Fisher dkk. (1984) terdapat banyak efek pencahayaan yang berkaitan dengan perilaku. Pada dasarnya, cahaya mempengaruhi kinerja kita dalam bekerja dan dapat mempengaruhi suasana hati dan perilaku sosial kita.

Warna
Menurut Heimstra dan MC Farling, warna memiliki tiga dimensi yaitu: kecerahan, corak warna, dan kejenuhan. Sedangkan menurt Holahan (1982) dan Mehrabian &Russel warna juga mempunyai efek independen terhadap suasana hati, tingkat pembangkitan, dan sikap; dimana ketiganya mempengaruhi kinerja.
2 ARCHITECTURAL FEATURES
Estetika
Spranger membagi orientasi hidup menjadi 6 kategori, dimana nilai estetis merupakan salah satu siantaranya selain nilai ekonomi, nilai kekuasaan, nilai sosial, nilai religious, dan nilai intelektual. Sedangkan menurut Fisherdkk (1984) salah atu tujuan daridesain adalah memunculkan respon tertentu terhadap seting yang telah disediakan.
Penelitian telah menunjukkan pula bahwa kualitas estetis suatu ruangan dalam konteks keceriaan dan daya tarik dapat mempengaruhi jenis evaluasi yang kita bua ketika berada dalam seting tersebut.
Perabot
Perabot dan pengaturannya dan aspek-aspek lain dari lingkungan ruang merupakan salah satu penentu perilaku yang penting karena dapat mempengaruhi cara orang dalam mempersepsikan ruang tersebut.

Sumber :
Prabowo, H. 1998. “Seri Diktat Kuliah : Pengantar Psikologi Lingkungan”. Depok
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.

www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab3-ambient_condititon_dan_architectural_features.pdf
http://file.upi.edu/Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PSIKOLOGI/195009011981032%20-%20RAHAYU%20GININTASASI/agresi%20dan%20altruisme.pdf

http://perempuanmanies.wordpress.com/2011/02/25/ambient-condition-dan-architectural-condition/

Selasa, 22 Februari 2011

Pendekatan Teori Psikologi Lingkungan dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan

A. Latar Belakang Sejarah

Membahas perihal teori teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori teori, baik di dalam maupun di luar psikologi. Beberapa teori tersebut amat luas jangkuannya dan beberapa lagi lebih terfokus. Dalam kaitannya antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme dan psikologi gestalt


B. Beberapa Teori

Beberapa teori dalam psikologi lingkungan antara lain: Teori Arousal, Teori Stimulus berlebihan, Teori Kendala Perilaku, Teori Tingkat Adaptasi, Teori stres Lingkungan dan Teori Ekologi.

1. Teori Arousal (Arousal Theory)

Arousal (pembangkit). Ketika sedang merasakan emosional, kita sering merasa bergairah. Contoh, tingkat yang tinggi dalam keterbangkitan adalah kemarahan, ketakutan dan kenikmatan sedangkan keterbangkitan yang rendah adalah kesedihan dan depresi (Dwi Riyanti & Prabowo, 1997).

Arousal pada umumnya dipengaruhi dari rangsangan yang mengelilingi kita. Kita dapat bosan dan tertidur, jika yang kita hadapi adalah hal hal yang “tidak ada apa apanya”. Suatu materi pelajaran yang tidak menarik dan sedikit sekali memberi manfaat pada apa yang mendengarkan, membuat hampir semua yang mendengarkan tidak bertahan lama mengikutinya.

Teori Arousal dalam psikologi lingkungan, dalam psikologi lingkungan, hubungan antara arousal dengan kinerja seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Tingkat arousal yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah
• Makin tinggi tingkat arousalnya akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula (sarwono, 1992)

Hubungan tersebut dinamakan hukum Yerkes dan Dodson (Sarwono, 1992). Sebagai gambaran lain Veitch dan Arkkelin (1995) memberi contoh bahwa perubahan kinerja amat beragam pada peningkatan suhu pada pekerja wanita, pekerja tambang dan para pekerja beragam jenis laboratorium.




2. Teori Beban Stimulus (Stimulus Load Theory)

Titik sentral dari beban stimulus adalah adanya dugaan bahwa manusia memiliki kapasitas yang terbatas dalam memproses informasi. Ketika input (masukan) melebihi kapasitas, maka orang cenderung untuk mengabaikan beberapa masukan dan mencurahkan perhatian lebih banyak kepada yang lain (Cohen dalam Veitch dan arkkelin, 1995). Umumnya stimulus tertentu yang paling penting diperhatikan dengan alokasi waktu yang banyak dan stimulus yang kurang penting umumnya diabaikan (Sarwono, 1992; Veitch dan Arkkelin, 1995).

3. Teori Kendala Perilaku (Behavioral Constrain Theory)

Teori kendala perilaku memfokuskan kepada kenyataan atau perasaan, kesan yang terbatas dari individu oleh lingkungan. Menurut teori ini, lingkkungan dapat mencegah, mencampuri atau membatasi perilaku penghuni (Stokolos dalam Veitch dan arkkelin, 1995). Teori ini berkeyakinan bahwa dalam suatu situasi tertentu seseorang benar benar kehilangan beberapa tingkatan kendali terhadap lingkungannya (Veitch & Arkkelin, 1995).

Brehm dan Brehm (dalam Veitch dan arkkelin, 1995) menekankan bahwa ketika kita merasakan bahwa kita sedang kehilangan kontrol atau kendali terhadap lingkungan, kita mula mula akan merasa tidak nyaman dan kemudian mencoba untuk menekankan lagi fungsi kendali. Fenomena ini lalu disebut dengan istilah reaktansi psikologis (psychological reactance).

4. Teori Tingkat Adaptasi

Teori tingkat adaptasi mirip dengan teori stimulus berlebih, dimana pada tingkat tertentu suatu stimulus dapat dirumuskan untuk mengoptimalkan perilaku. Stimulus yang berlebihan atau sama halnya yang terlalu kecil dianggap dapat mempengaruhi hilangnya emosi dan tingkah laku. Tatkala semua ahli psikologi lingkungan menekankan interaksi mansia dengan lingkungan, maka teori tingkat adaptasi lebih banyak membicarakannya secara lebih spesifik, yaitu dua proses yang terkait dalam hubungan tersebut: adaptasi dan adjustment. Adaptasi adalah mengubah tingkah laku atau respon respon agar sesuai dengan lingkungannya. Misalnya dalam dingin atau keadaan suhu yang menurun menyebabkan terjadinya otot kaku dan menurun aktivitas motorik. Sementara adjustment adalah mengubah lingkungan agar menjadi lingkungannya, misalnya dalam keadaan dingin bisa saja membakar kayu untuk memanaskan tubuhnya (Sarwono, 1992; Veitch dan Arkkelin, 1995). Salah satu cara tersebut dilakukan seseorang agar tercapai keseimbangan dengan lingkungannya (homeostatis).

Menurut Sarwono (1992) terdapat tiga kategori stimulus yang dijadikan acuan dalam hubungan lingkungan dengan tingkay laku, yaitu :

• Stimulus fisik yang merangsang indra (suara, cahaya, dan suhu udara)
• Stimulus sosial
• Gerakan


5. Teori stres Lingkungan

Teori stres menekankan pada mediasi peran peran fisiiologis, emosi dan kognisi dalam interaksi antara manusia dengan lingkungan. Pada dasarnya hal ini dapat dilihat berkaitan dengan pengindraan manusia dimana suatu respon stres yang terjadi segi segi lingkungan melebihi tingkat yang optimal. Individu lalu meresponnya dengan berbagai cara untuk mengurangi stres. Beberapa bagian dari respon terhadap stres bersifat otomatis. Pada mulanya terdapat adanya reaksi waspada (alarm reaction) terhadap stresor. Lalu diikuti dengan reaski penolakan individu yang secara aktif mencoba melakukan coping terhadap stresor. Akhirnya, jika sumber sumber coping yang habis maka suatu bentuk kelelahan akan terjadi.

Sebagai suatu bentuk coping, ketika individu akan bereaksi terhadap stresor, individu harus menentukan terlebih dahulu strategi berupa menghindar, menyerang secara fisik atau verbal atau mencari kompromi (Sarwono, 1992)

6. Teori Ekologi

Pusat dari pemikiran para ahli teori ekologi adalah gagasan tentang kecocokan manusia dan lingkungannya. Lingkungan dirancang atau barangkali berkembang sehingga memungkinkan terjadinya perilaku tertentu. Seting perilaku menurut istilah Roger Barker (dalam Veitch dan Arkkelin, 1995) adalah evaluasi terhadap kecocokan antara lingkungan dengan perilaku yang terjadi konteks lingkungan tersebut.

Dalam istilah Barker, hubungan tingkah laku dengan lingkungan adalah seperti jalan dua arah (two way street) atau independensi ekologi. Selanjutnya Barker mempelajari hubungan timbal balilk antara lingkungan dengan tingkah laku. Suatu hal yang unik pada teori Barker adalah seting perilaku yang dipandang sebagai faktor tersendiri.










C. Metode Penelitian

Metode penelitian menurut Veitch dan Arkkelin (1995) terdapat tiga metode penelitian yang lazim digunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah ekspreimen laboratorium, studi korelasi dan eksperimen.

1. Eksperimen Laboratorium

Metode ini memberi kebebasan kepada ekpserimenter untuk memanipulasi secara sistematis variabel yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel variabel yang mengganggu (extraneous variables). Metode ini juka mengukur pengaruh manipulasi manipulasi tersebut. Dengan cara ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini pada umumnya juga melibatkan pemilihan secara random dalam kondisi ekperimen.

Walaupun penelitian laboratorium meningkatkan kepercayaan bahwa hasil pengamatan adalah manipulasi variabel bebas, seorang peneliti masih memiliki hal yang bersifat skeptis mengenai hubungan dalam eksperin tersebut.

2. Studi Korelasi

Studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan hubungan di antara hal hal atau peristiwa peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalm studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai.

Karena studi korelasi amat lemah dalam validitas internal. Belum jelas apakah asosiasi yang terjadi dari pembatas pembatas yang dibuat oleh penelitian sebelumnya. Untuk mudahnya maka dapat dibandingkan bahwa eksperimen laboratorium meminimalkan validitas internal untuk mengelakkan validitas eksternal, sedangkan studi korelasi meminimalkan validitas eksternal tetapi seringkali validitas internalnya lemah.

3. Eksperimen Lapangan

Jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dapay dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapau melalui studi korelasi, maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan memepertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu.

Hal hal yang dapay dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode korelasi ditemukan. Oleh karena itu peneliti mengembangkan kontrol terhadap variabel, menjaga validitas eksternal tertentu






DAPUS

E-LEARNING GUNADARMA BAB 2 PENDEKATAN TEORI DAN METODE PSIKOLOGI LINGKUNGAN

http://www.docstoc.com/docs/20865732/METODE-PENELITIAN-PSIKOLOGI-BELAJAR-DAN-MANFAAT-MEMPELAJARI

http://images.irwannuryana.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SHP55QoKCBwAAB2Xb7w1/Metode%20Penelitian%20dalam%20Psikologi%20Perkembangan.ppt?nmid=104758480

http://www.aguschandra.com/search/metode-penelitian-psikologi-lingkungan/

http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html

Minggu, 13 Februari 2011

Psikologi lingkungan: Latar belakang, Definisi, lingkup, Ambient Condition & Architectural Features

PSIKOLOGI LINGKUNGAN

A. Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan

Adalah Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin mengatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari pribadi dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan

Sebelum mengenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, beberapa istilah lain telah mendahuluinya. Sebelumnya Lewin memberikan istilah ekologi psikologi (psychological ecology) pada tahun 1943. lalu pada tahun 1947 Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku (behaviorak setting). Istilah psikologi arsitektur (architectural psychology) diperkenalkan pada tahun 1961 dan 1966. dan terakhir pada tahun 1968 Harold Proshansky dan William Ittelson psikologi lingkungan (environmental psychology) di CNUY.

Membahas perihal teori-teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori-teori, baik di dalam maupun di luar disiplin psikologi. Beberapa teori tersebut amat luas jangkauannya dan beberapa lagi yang lain lebih terfokus, beberapa amat lemah dalam data empiris dan beberapa yang lain amat kuat. Dalam kaitan antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme, dan psikologi Gestalt (Veitch & Arkkelin, 1995).

Geografi. Beberapa ahli sejarah dan geografi telah mencoba menerangkan jatuh-bangunnya peradaban yang disebabkan oleh karakteristik lingkungan. Sebagai contoh, Toynbee (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengembangkan teori bahwa lingkungan (atau secara lebih spesifik topografi, iklim, vegetasi, ketersediaan air, dan sebagainya) adalah tantangan bagi penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut. Tantangan lingkungan yang ekstrim akan merusak peradaban, sementara tantangan yang terlalu kecil akan mengakibatkan stagnasi kebudayaan. Lebih lanjut Toynbee mengusulkan bahwa tantangan lingkungan pada tingkat menengah juga dapat mempengaruhi perkembangan peradaban. Pada tingkat yang makin berkurang atau sebaliknya makin berlebihan hasilnya justru akan memperlemah pengaruhnya.

Gagasan mengenai tantangan lingkungan dan respon-respon perilakunya meski didasari oleh para penganut geographical determinism, ternyata seringkali merupakan bentuk-bentuk atau variasi-variasi teori yang diterapkan dalam psikologi lingkungan. Sebagai contoh Barry, Child dan Bacon (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengusulkan bahwa kebudayaan masyarakat pertanian (yang tidak nomaden) ternyata menekankan pola asuh pada generasinya berupa: tanggungjawab, ketaatan, dan kepatuhan. Sebaliknya pada kebudayaan nomaden pola asuh yang ditekankan adalah pada kemandirian dan akal.

Perbedaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada kebudayaan pertanian, orang tinggal dan bekerja bersama-sama dalam suatu komunitas yang tanpa mobilitas yang tinggi, sehingga yang dihasilkan adalah organisasi yang teratur. Hal tersebut tentunya akan lebih menekankan pola asuh kepada ketaatan dan kepatuhan. Lain halnya dengan orang nomaden yang lebih menyiapkan generasi mudanya untuk terbiasa dalam menghadapi situasi alamyang berubah dan tidak dapat diramalkan pada saat menjelajahi alam, sehingga yang lebih dibutuhkan adalah kemandirian dan akal. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu seting lingkungan tertentu memberi peluang yang terbaik bagi masyarakat penghuninya untuk mempertahankan diri.

Biologi Ekologi. Perkembangan teori-teori ekologi menunjukkan adanya perhatian terhadap adanya ketergantungan biologi dan sosiologi dalam kaitan hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dimana hal itu secara signifikan mempengaruhi pemikiran-pemikiran psikologi lingkungan. Dengan perkembangan ilmu ekologi, seseorang tidak dianggap terpisah dari lingkungannya, melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan. Pendapat mengenai hubungan yang saling tergantung antara manusia dengan lingkungannya pada saat ini akan tampak pada teori-teori yang dikembangkan pada disiplin psikologi lingkungan. Lingkungan dan penghuninya masih sering dikaji sebagai komponen yang terpisah, meskipun tidak ada keraguan lagi adanya hubungan yang saling tergantung di antara mereka. Behaviorisme. Pengaruh penting lain yang merupakan pemikiran yang datang dari cabang disiplin psikologi sendiri adalah behaviorisme.

Pemikiran kalangan behavioris muncul sebagai reaksi atas kegagalan teori-teori kepribadian untuk menerangkan perilaku manusia. Pada saat ini secara umum dapat diterima bahwa dua hal penting yang menjadi pertimbangan adalah konteks lingkungan dimana suatu perilaku muncul dan variabel-variabel personal (seperti kepribadian atau sikap). Dengan mempertimbangkan kedua hal ini maka akan lebih dapatdiramalkan suatu fenomena manusiadan lingkungannya daripadajika dibuat pengukuran sendiri-sendiri.
Psikologi Gestalt. Psikologi Gestalt berekembang pada saat yang berbarengan dengan
behaviorisme dan lebih menekankan perhatian kepada persepsi dan kognisi sebagai perilaku yang tampak (overt behavior). Prinsip terpenting dari cara kerja kalangan Gestalt ini adalah bahwa objek-objek, orang-orang, dan seting-seting dipersepsi sebagai suatu keseluruhan, dimana hal itu lebih dari sekedar penjumlahan bagian-bagian.

Dari pandangan Gestalt, suatu perilaku didasarkan pada proses kognitif, yang bukan dipengaruhi oleh proses stimulus tetapi dari persepsi terhadap stimulus tersebut. Pengaruh Gestalt pada psikologi lingkungan dapat dilihat antara lain pada kognisi lingkungan, misalnya untuk menjelaskan persepsi, berpikir, dan pemrosesan informasi lingkungan. Dari beberapa perspektif di atas, Veitch & Arkkelin (1995) menekanlan adanya dua hal yang perlu diketahui. Pertama, sebagaimanayang sudah disebutkan di atas bahwa pendekatan yang dipakai pada perspektf-perspektif di atas ada yang amat lebar dalam cakupan dan ada pula yang lemah dalam data empiris. Kedua, tidak ada grand theory dalam psikologi lingkungan, karena tidak ada pendekatan atau perspektif tunggal yang dapat menerangkan hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya secara memuaskan. Hal ini paling tidak disebabkan oleh empat hal:



(a) Tidak ada data yang cukup tersedia dalam kaitan hubungan manusia dengan
lingkungannya, sehingga dapat dipercaya untuk menyatukan teori

(b) Hubungan-hubungan yang dikaji para peneliti amaat sangat beragam

(c) Metode yang digunakan tidak konsisten

(d) Cara pengukuran variabel tidak selalu kompatibel dari suatu seting penelitian ke
penelitian berikutnya

B. Definisi Psikologi Lingkungan

Definisi menyatakan bahwa psikologi lingkungan adalah disiplin yang memperhatinkan dan mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan fisik (Heimstra dan Mc Farling). Dan menurut Gifford yaitu sebagai studi dari transaksi di antara individu dengan seting fisiknya. Ahli lain seperti Carter dan Craik mengatakan bahwa psikologi lingkungan adalah area psikologi yang melakukan konjungsi dan analisis tentang hubungan antara pengalaman dan tindakan tindakan yang berhubungan dengan lingkungan sosiofisik. Emery dan Tryst melihat bahwa hubungan antara menusia dengan lingkungan merupakan suatu jalinan transactional interdependency atau terjadi ketergantungan satu sama lain. Hal ini hampir sama dengan pendapat Giffor, yaitu manusia mempengaruhi lingkungannya, untuk selanjutnya lingkungan akan mempengaruhi manusia, demikian pula sebaliknya.

Menurut Veitch dan Arkkelin mendefinisikan psikologi lingkungan sebagai ilmu perilaku multidipslin yang memilki orientasi dasar dan terapan, yang memfokuskan interrelasi antara perilaku dan pengalaman manusia sebagai individu dengan lingkungan fisik dan sosial.

Psikologi lingkungan adalah ilmu kejiwaan yang mempelajari. Prilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam. Dalam psikologi lingkungan juga dipelajari mengenai kebudayaandan kearifan lokal suatu tempat dalam memandang alam semesta yang memengaruhi sikap dan mental manusia. Apabila kebudayaan dan kearifan lokal kita pahami sebagaiperjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidupnya, maka mawas diri akan menjadi inti pokok dari pelajaran psikologi lingkungan. Soedjatmoko, seorang ahli sosiologi, mengungkapkan harapannya untuk mengangkat mawas diri dari tingkat moralisme semata-mata ke tingkat pengertian psikologis dan historis dan mengenai perilaku manusia. Dalam hal ini beliau memberikan pengertian tentang moralisme dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi
oleh psikologishistoris suatu lingkungan, tempat orang tersebut bersosialisasi dengan masyarakat binaannya.Sementara Hardjowirogo, seorang antropolog, menulis bahwa tidak ada jaminan akan keefektifan mawas diri. Ungkapan itu telah surut menjadi sekadar penghias buah bibir. Perubahan zaman telah membawa pula fungsi mawas diri menjadi pengucapan belaka.


C. Lingkup Psikologi Lingkungan

Proshanksky melihat bahwa psikologi lingkungan memberi perhatian terhadap manusia, tempat serta perilaku dan pengalaman pengalaman manusia dalam hubungan dengan seting fisik. Dimana seseorang tinggal, berinteraksi dan beraktivitas. Sehubungan dengan lingkungan fisik, pusat perhatian psikologi lingkungan adalah lingkungan binaan (built environment).

Ruang lingkup psikologi lingkungan lebih jauh membahas rancangan (desain), organisasi dan pemaknaan ataupun hal hal yang lebih spesifik seperti ruang ruang, bangunan bangunan, ketanggan, rumah sakit dan ruang.

Sosiologi lingkungan yang muncul pada tahun 1970-an merupakan cabang ilmu yang dekat dengan psikologi lingkungan. Perbedaan terletak pada unit analisisnya. Jikalau psikologi lingkungan unit analisisnya adalah manusia dan kumpulan manusia sebagai individu, maka sosiologi lingkungan unit analisisnya dalam masyarakatnya seperti penduduk kota, pemerintah, pengunjung taman rekreasi dan sebagainya. Jenis jenis lingkungan di dalam sosiologi lingkungan yang beberapa diantaranya juga banyak digunakan dalam psikologi lingkungan adalah (Sarwono):

1. Lingkungan alamiah (natural environment) seperti: lautan, hutan dan sebagainya
2. Lingkungan buatan/binaan (built environment) seperti: jalan raya, perumahan, taman, rumah susun dan sebagainya.
3. Lingkungan social.
4. Lingkungan yang dimodifikasi.

Dua jenis lingkungan yang pertama adalah istilah yang juga lazim digunakan dalam psikologi lingkungan. Sementara itu, Veitch dan Arkkelin, sebagaimana disebut di muka menetapkan bahwa psikologi lingkungan merupakan suatu area dari pencarian yang bercabang dari sejumlah displin, seperti biologi, geologi, psikologi, hukum, geografi, ekonomi, sosiologi, kimia, fisika, sejarah, filsafat, beserta sub displin dan rekayasanya. Oleh karena itu berdasarkan ruang lingkupnya, maka psikologi lingkungan ternyata selain membahas seting seting yang berhubungan dengan manusia dan perilakunya juga melibatkan displin ilmu yang beragam.





D. Ambient Condition dan Architectural Features

Dalam hubungan dengan lingkungan fisik Wrighstman dan Deaux (1981) membedakan dua bentuk kualitas lingkungan yang meliputi:

1. Ambient Condition
Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti; seound, cahaya, warna, kualitas udara, temperature dan kelembaban.

2. Architectural Features
Yang tercakup didalamnya adalah seting seting yang bersifat permanent. Misalnya di dalam suatu ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi lay out tiap lantai, desain dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.



Sumber :

http://www.anneahira.com/psikologi-lingkungan.htm

http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf