Selasa, 08 Maret 2011

KEPADATAN

A. Pengertian Kepadatan

Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari parea ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit riangan (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada disuatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal hal yang negative akibat dari kepadatan.

Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

Kedua, peningkatan agresivitas pada anak anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung), bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama dan tolong menolong sesame anggota kelompok.

Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negative kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga beraksi lebih negative terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating. 1979; Stokols dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinterkasi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1979) antara kepadatan dan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

B. Kategori Kepadatan

Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggalm, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dinpengaruhi oleh unsure unsure yaitu jumlah individu pada setiap ruang,. Jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur unsur tersebut.

Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang dan kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningjat sejalan dengan bertambahnya individu. Altsman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Taylor (dalam Gifford, 1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang disuatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukan sikap dan perilaku yang berbeda pula.

C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi

Akibat secara psikis antara lain:

a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stes (Jain 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya

Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) factor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur social dan lain lain akan menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.

Epstein (dalam Sears dkk, 1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadii apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan karena mereka umumnya mampu “mengendalikan” rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.

Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo, 1991) terungkap bahwa komunitas tradisional etnis Cina di Hongkong, Singapura dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideology nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus dibawah satu atap yang sama , telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara suara bising dari anak anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari Negara Negara timur tidak segan untuk menyewakan kamar di dalam rumahnya, untuk memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interkasi social.

Gambaran lain diungkapkan oleh Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negative yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku social, pembunuhan, perkosaan dan tindak criminal lainnya. Sementara itu, di Jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000 orang/Ha pada bagian kota kota tertentu ternyata angka kejahatan/ criminal disana masih lebih rendah.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

daftar pustaka tentang densitas sosial ga ada ya?