A. Pengertian Teritorialitas
Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan lain. Dengan demikian, menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar atau merupakan suatu territorial primer.
Apa perbedaan ruang personal dengan teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan de War (1963), bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.
B. Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas. Yaitu:
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu.
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar.
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan kebuthan estetika.
Porteus (dalam Lang, 1987) mengindentifikasikan 3 kumpulan tingkay spasial yang saling terkait satu sama lain:
1. Personal Space, yang telah banyak dibahas dimuka.
2. Home Base, ruang ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, seting seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara khusus pada desain lingkungan maka Hussein El-Sharkawy (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan empat teritori yaitu: attached, central, supporting dan peripheral.
1. Attached Territory adalah “gelembung ruang” sebagaimana telah dibahas dalam ruang personal
2. Central Territory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi
3. Supporting Territory, adalah ruang ruang yang bersifat semi privat dan semi public. Pada semi privat terbentuknya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk/santai di tepi kolam renang atau area area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan tumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang ruang semi public antara lain adalah: salah satu sudut ruangan dalam took, kedai minum, atau jalan kecil di depan rumah. Semi privat cenderung untuk dimiliki sedangkan semi public tidak dimiliki oleh pemakai.
4. Peripheral Territory adalah ruang public yaitu area area yang dipakai oleh individu individu atau suatu kelompok tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya.
Sementara itu Altman membagi teritorialitas menjadi tiga yaitu, territorial primer, territorial sekunder dan territorial umum.
1. Teritorial Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam territorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah Negara dan sebagainya.
2. Teritorial Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Territorial ini dapat dipergunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan terhadap kelompok itu. Sifat territorial sekunder adalah semi publilk. Yang termasuk dalam territorial ini adalah sirkulasi lalu lintas di dalam kantor, toilet, zona servis dan sebagainya.
3. Teritorial Umum
Territorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan aturan yang lazim di dalam masyarakat di mana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh territorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung kora, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, territorial umum dapat dibagi menjadi tiga: Stalls, Turns dan Use Space.
C. Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Suatu studi menarik dilakukan oleh Smith (dalam Gifford, 1987) yang melakukan studi tentang penggunaan pantai orang orang perancis dan jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal di Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan Edney (dalam Gifford, 1987). Hasil dari kedua penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan pantai antara orang perancis, jerman dan amerika membuktikan sesuatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dalam hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menuntut ruang yang lebih kecil setiap orang. Kelompok yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntut ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang jerman membuat lebih banyak tanda. Mereka seringkali menegakkan penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertentu dan merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya, ukuran teritorialitas ternyata berbeda diantara ketiga budaya tersebut, walaupun dengan bentuk yang dapat dikatakan sama. Orang jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang lebih besar, tetapi pada ketiga budaya maupun dalam pembagian kelompok kelompok menandai teritorialitas dengan suatu lingkaran yang sama. Orang jerman lebih sering menuntut teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai territorial dalam bentuk elpis dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.
Sumber:
Elearning.gunadarma.ac.id
http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/173682312201007542.pdf
http://yuliaonarchitecture.wordpress.com/2010/01/23/pendekatan-psikologi-arsitektur-dalam-perancangan-ruang-terbuka-hijau-rth-di-kota-kota-multikultural/
Senin, 28 Maret 2011
Senin, 21 Maret 2011
Personal Space (Ruang Personal)
A. Pengertian Ruang Personal
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas batas disekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batas batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang dan kadang kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasarkan hasil hasil penelitian antara lain : Pertama ruang personal adalah batas batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain. Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. Ketiga, pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi. Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan, stress dan bahkan perkelahian. Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi dan searah.
Ada kecenderungan dari para peneliti untuk menyamakan ruang personal dengan suatu gelembung yang mengepung kita dan memiliki sejumlah kegunaan. Sebagai contoh, Hayduk percaya bahwa ruang personal merupakan suatu bentuk tiga dimensional. Umumnya berbentuk silinder dan dari bentuknya kita dapat melihat bahwa bentuk tersebut semakin menyempit sampai ke bagian bawah tubuh kita.
Dengan definisi ruang personal sebagai “batas yang tak terlihat yang mengelilingi kita, dimana orang lain tidak dapat melanggarnya”, maka ide ini dapat dikonotasikan secara jelas secara visual, daripada pemahaman yang hanya ditulis secara teoritis.
Edwad Hall, seorang peneliti di bidang ruang personal, membagi jarak antar personal ke dalam 8 bagian. Menurutnya terjadi gradasi jarak berdasarkan tingkat keakraban antar personal. Kedelapan jarak tersebut dikelompokkan ke dalam empat jarak utama, yaitu:
1. Jarak Intim
a. Jarak Intim Dekat (0-6 inchi atau 0-15 cm), yaitu jarak yang muncul pada kondisi memeluk, menenangkan, percintaan, pergulatan (olahraga) atau kontak penuh dengan orang lain. Orang-orang tidak hanya berinteraksi pada situasi intim, atau melakukan kegiatan berdasarkan peraturan (gulat), tapi juga bisa terjadi pada kondisi emosi negatif (mis: manajer bola basket yang bertengkar dengan wasit).
b. Jarak Intimm Jauh (6-18 inc atau 15-45 cm), mewakili hubungan yang cukup erat, misalnya seseorang yang membisikan sesuatu ke temannya,
2. Jarak Personal
a. Jarak Personal Dekat (18-30 inc atau 45-75 cm), yang berlaku bagi orang-orang yang saling mengenal satu sama lain dalam konteks yang positif. Biasanya diwakili oleh orang yang saling berteman atau pasangan yang sedang berbahagia.
b. Jarak Personal Jauh (75 cm-1,2 m), adalah jarak yang digunakan oleh orang-orang yang berteman tapi tidak saling akrab. Biasanya jika kita menjumpai dua orang yang bercakap pada jarak ini maka hampir bisa dipastikan bahwa mereka adalah berteman tapi tidak saling akrab,
3. Jarak Sosial
a. Jarak Sosial Dekat (1,2 – 2 m), terjadi pada situasi ketika kita diperkenalkan kepada kawan ibu kita ketika bertemu di super market,
b. Jarak Sosial Jauh (2-3,5 m), umumnya terjadi ketika melakukan transaksi bisnis resmi. Pada situasi ini sangat kecil atau sama sekali tidak ada suasana pertemanan, karena biasanya masing-masing perusahaan mengutus wakil untuk berinteraksi,
4. Jarak Publik
a. Jarak Publik Dekat (3,5-7 m), biasanya digunakan oleh seorang dosen yang mengajar kelas theater yang terdiri dari ratusan murid di mana jika berbicara harus dari jarak yang tepat sehingga suaranya terdengar di seluruh penjuru ruangan. Jika kita berbicara kepada 30-40 orang, kira-kira jarak inilah yang umum kita pakai agar suara kita bisa terdengar jelas oleh masing-masing orang,
b. Jarak Publik Jauh (7 m atau lebih), biasanya jarak yang disediakan jika ada interaksi masyarakat umum dengan seorang tokoh penting. Akan tetapi jika tokoh itu ingin bercakap maka umumnya dia akan mendekat.
beberapa unsur yang mempengaruhi jarak Ruang Personal seseorang, yaitu:
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang RP ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis
B. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam studi lintas budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman, 1976) mengamati bahwa norma dan adapt istiadat dari kelompok budaya dan etrnik yang berbeda akan tercemin dari penggunaan ruang (space)nya seperti susuanan perbaot, konfigurasi tempat tinggal dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya. Hall menggambarkan secara kualitatif bagaimana anggota dari bermacam macam kelompok budaya tersebut memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu, orang Inggris merupakan orang orang pribadi (private people). Akan tertapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana sarana verbal dan nonverbal (seperti karakter suara dan kontak mata) dibandingkan dengan sarana fisik atau lingkungan. Orang orang perancis berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakan bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.
Dalam eksperimen Waston dan Graves (dalam Grifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sample kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang diminta dating ke laboratorium. Siswa siswa ini diberitahu bahwa mereka akan diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertama terdiri dari orang orang Arab dan kelompok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rata rata jarak interpersonal yang diapakai orang Arab kira kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Sumber :
Elearning gunadarma
http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/
Environmental Psychology, Principles and Practices (Robert Gifford, 1997)
http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PSIKOLOGI/M.ARIES/&file=Smt%204_PG584_Psikologi%20Lingkungan_sdh.pdf
http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/E%20-%20FPTK/JUR.%20PEND.%20TEKNIK%20ARSITEKTUR/196212311988032%20-%20RR.%20TJAHYANI%20BUSONO/ERGONOMIKA/&file=PSIKOLOGI%20RUANG.pdf
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas batas disekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batas batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang dan kadang kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasarkan hasil hasil penelitian antara lain : Pertama ruang personal adalah batas batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain. Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. Ketiga, pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi. Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan, stress dan bahkan perkelahian. Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi dan searah.
Ada kecenderungan dari para peneliti untuk menyamakan ruang personal dengan suatu gelembung yang mengepung kita dan memiliki sejumlah kegunaan. Sebagai contoh, Hayduk percaya bahwa ruang personal merupakan suatu bentuk tiga dimensional. Umumnya berbentuk silinder dan dari bentuknya kita dapat melihat bahwa bentuk tersebut semakin menyempit sampai ke bagian bawah tubuh kita.
Dengan definisi ruang personal sebagai “batas yang tak terlihat yang mengelilingi kita, dimana orang lain tidak dapat melanggarnya”, maka ide ini dapat dikonotasikan secara jelas secara visual, daripada pemahaman yang hanya ditulis secara teoritis.
Edwad Hall, seorang peneliti di bidang ruang personal, membagi jarak antar personal ke dalam 8 bagian. Menurutnya terjadi gradasi jarak berdasarkan tingkat keakraban antar personal. Kedelapan jarak tersebut dikelompokkan ke dalam empat jarak utama, yaitu:
1. Jarak Intim
a. Jarak Intim Dekat (0-6 inchi atau 0-15 cm), yaitu jarak yang muncul pada kondisi memeluk, menenangkan, percintaan, pergulatan (olahraga) atau kontak penuh dengan orang lain. Orang-orang tidak hanya berinteraksi pada situasi intim, atau melakukan kegiatan berdasarkan peraturan (gulat), tapi juga bisa terjadi pada kondisi emosi negatif (mis: manajer bola basket yang bertengkar dengan wasit).
b. Jarak Intimm Jauh (6-18 inc atau 15-45 cm), mewakili hubungan yang cukup erat, misalnya seseorang yang membisikan sesuatu ke temannya,
2. Jarak Personal
a. Jarak Personal Dekat (18-30 inc atau 45-75 cm), yang berlaku bagi orang-orang yang saling mengenal satu sama lain dalam konteks yang positif. Biasanya diwakili oleh orang yang saling berteman atau pasangan yang sedang berbahagia.
b. Jarak Personal Jauh (75 cm-1,2 m), adalah jarak yang digunakan oleh orang-orang yang berteman tapi tidak saling akrab. Biasanya jika kita menjumpai dua orang yang bercakap pada jarak ini maka hampir bisa dipastikan bahwa mereka adalah berteman tapi tidak saling akrab,
3. Jarak Sosial
a. Jarak Sosial Dekat (1,2 – 2 m), terjadi pada situasi ketika kita diperkenalkan kepada kawan ibu kita ketika bertemu di super market,
b. Jarak Sosial Jauh (2-3,5 m), umumnya terjadi ketika melakukan transaksi bisnis resmi. Pada situasi ini sangat kecil atau sama sekali tidak ada suasana pertemanan, karena biasanya masing-masing perusahaan mengutus wakil untuk berinteraksi,
4. Jarak Publik
a. Jarak Publik Dekat (3,5-7 m), biasanya digunakan oleh seorang dosen yang mengajar kelas theater yang terdiri dari ratusan murid di mana jika berbicara harus dari jarak yang tepat sehingga suaranya terdengar di seluruh penjuru ruangan. Jika kita berbicara kepada 30-40 orang, kira-kira jarak inilah yang umum kita pakai agar suara kita bisa terdengar jelas oleh masing-masing orang,
b. Jarak Publik Jauh (7 m atau lebih), biasanya jarak yang disediakan jika ada interaksi masyarakat umum dengan seorang tokoh penting. Akan tetapi jika tokoh itu ingin bercakap maka umumnya dia akan mendekat.
beberapa unsur yang mempengaruhi jarak Ruang Personal seseorang, yaitu:
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang RP ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis
B. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam studi lintas budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman, 1976) mengamati bahwa norma dan adapt istiadat dari kelompok budaya dan etrnik yang berbeda akan tercemin dari penggunaan ruang (space)nya seperti susuanan perbaot, konfigurasi tempat tinggal dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya. Hall menggambarkan secara kualitatif bagaimana anggota dari bermacam macam kelompok budaya tersebut memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu, orang Inggris merupakan orang orang pribadi (private people). Akan tertapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana sarana verbal dan nonverbal (seperti karakter suara dan kontak mata) dibandingkan dengan sarana fisik atau lingkungan. Orang orang perancis berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakan bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.
Dalam eksperimen Waston dan Graves (dalam Grifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sample kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang diminta dating ke laboratorium. Siswa siswa ini diberitahu bahwa mereka akan diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertama terdiri dari orang orang Arab dan kelompok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rata rata jarak interpersonal yang diapakai orang Arab kira kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Sumber :
Elearning gunadarma
http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/
Environmental Psychology, Principles and Practices (Robert Gifford, 1997)
http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PSIKOLOGI/M.ARIES/&file=Smt%204_PG584_Psikologi%20Lingkungan_sdh.pdf
http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/E%20-%20FPTK/JUR.%20PEND.%20TEKNIK%20ARSITEKTUR/196212311988032%20-%20RR.%20TJAHYANI%20BUSONO/ERGONOMIKA/&file=PSIKOLOGI%20RUANG.pdf
Senin, 14 Maret 2011
Kesesakan
Kesesakan
A. Pengertian Kesesakan
Pengertian kesesakan (crowding) adalah perasaan subyektif individu terhadap keterbatasan ruang yang ada (Holahan, 1982) atau perasaan subyektif karena terlalu banyak orang lain di sekelilingnya (Gifford, 1987). Kesesakan muncul apabila individu berada dalam posisi terkungkung akibat persepsi subyektif keterbatasan ruang, karena dibatasi oleh system konstruksi bangunan rumah dan terlalu banyaknya stimulus yang tidak diinginkan dapat mengurangi kebebasan masingmasing individu, serta interaksi antar individu semakin sering terjadi, tidak terkendali, dan informasi yang diterima sulit dicerna (Cholidah et al., 1996)
Kepadatan memang dapat mengakibatkan kesesakan (crowding), tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Setidaknya ada tiga konsep yang dapat menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, dan teori ecological model (Stokols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain, 1987). Secara teoritis, ketiga konsep tersebut dapat menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Kenyataan bahwa semakin padat suatu kawasan. Maka semakin banyak informasi yang melintas di hadapan penghuni adalah dinamika yang tida terhindarkan. Bila kemudian informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya, maka mulailah timbul masalah-masalah psikologis. Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu dalam berperilaku sehari-hari. Konsep ini berkaitan erat dengan pendekatan ekologis. Prinsipnya, ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi lagi maka lingkungan alam dan lingkungan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah (Sulistyani et al., 1993).
Dalam suasana padat dan sesak, kondisi psikologis yang negatif mudah timbul yang merupakan faktor penunjang yang kuat untuk munculnya stress dan bermacam aktifitas sosial negatif (Wrightsman dan Deaux, 1981). Bentuk ktifitas sosial negatif yang dapat diakibatkan oleh suasana padat dan sesak, antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik maupun psikis, seperti stres, ekanan darah meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2) munculnya patologi 2002 digitized by USU digital library 7 sosial, seperti kejahatan dan kenakalan remaja; 3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, berkurangnya tingkah laku menolong (prososial), dan kecenderungan berprasangka; 4) menurunnya prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung murung (Holahan, 1982).
Menurut Baum et al.(dalam Evans, 1982), peristiwa atau tekanan yang berasal dari lingkungan yang mengancam keberadaan individu dapat menyebabkan stres. Bila individu tidak dapat menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya, maka akan merasa tertekan dan terganggu dalam berinteraksi dengan lingkungan dan kebebasan individu merasa terancam sehingga mudah mengalami stres.
Kawasan padat dan sesak juga menyebabkan individu lebih selektif dalam berhubungan dengan orang lain, terutama dengan orang yang tidak begitu dikenalnya. Tindakan ini dilakukan individu untuk mengurangi stimuli yang tidak diinginkan yang dapat mengurangi kebebasan individu. Tindakan selektif ini memungkinkan menurunnya keinginan seseorang untuk membantu orang lain (intensi prososial). Perilaku prososial adalah perilaku seseorang yang ditujukan pada orang lain dan memberikan keuntungan fisik maupun psikologis bagi yang dikenakan tindakan tersebut. Perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan kerja sama, membagi, menolong, kejujuran, dermawan serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain (Mussen et al., 1979).
Perilaku prososial sangat penting artinya bagi kesiapan seseorang dalam mengarungi kehidupan sosialnya. Karena dengan kemampuan prososial ini seseorang akan lebih diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan berarti kehadirannya bagi orang lain (Cholidah, 1996).
Dalam pendekatan kognitif, pada teori psikologi lingkungan tentang rasa sesak, Stanley Milgram (1970) menyimpulkan bahwa bila orang dihadapkan pada stimulasi yang terlalu banyak, orang akan mengalami beban indera yang berlebihan dan tidak akan dapat menghadapi semua stimulasi itu. Milgram yakin bahwa beban indera yang berlebihan selalu bersifat tidak menyenangkan dan mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi secara tepat (Evans et al., 1996).
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) bahkan kadang kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dlam suatu kesatuan ruang.
Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat factor:
1. karakteristik seting fisik
2. karakteristik seting sosial
3. karakteristik personal
4. kemampuan beradaptasi
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempir dan kesesakan sosial (sosial crowding) yaitu perasaan sesak mula mula dating dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu. Kelompok kecil dan kejadian kejadian interpersonal.
Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai deficit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas.oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Besar kecilnya ukuran rumah menentukan rasio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil rumah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil rasio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak (crowding) (Ancok, 1989).
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas, jadi rangsangan berupa hal hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.
Pendapat lain dating dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
B. Teori kesesakan
Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yangditerimaindividu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1 979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupur. kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti
(a) kondisi lingkuilgatl fisik yang tidak menyenmgkan
(b) jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
(c) suatu percakapan yang tidak dikehendaki
(d) terlalu banyak mitra interaksi
(e) interaksi yang terjadi dirasa terlah dalam atau terlalu lama
Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial. Wicker(l976) mengemukakan teorinya tentang n~anni~lTge.o ri ini berdiri ataspandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana ha1 itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.
Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesaic bila kepadatan atau kcndisi lain yarlg berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis(psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
C. Faktor Pengaruh Kesesakan
Faktor Personal.
a). Kontrol pribadi dan locus of control
b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
c). Jenis Kelamin dan usia
Faktor Sosial
a). Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan ketladiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu banyak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, teman sekamar, dan proses belajar mereka.
b). Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekarnar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yangdisebabkan karena terbentuknyakoalisi di satu pihakdan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford, 1987).
c). Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.
d). Infomasi yang tersedia
Kesesakan jugcl dipengaruhi o!eh jumlah dan beniul; informzsi yang muncul sebeium dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).
Faktor Fisik.
Penelitian yang dilakukan oleh Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) dan DibyoHartono (1986) dalam hubungannya dengan urutan lantai, menemukan bahwa penghuni lantai yang lebih tinggi merasa tidak terlalu sesak daripada penghuni lantai bawah. Hal itu disebabkan karena semakin sedikitnya kehadiran orang asing pada posisi lantai yang lebih tinggi, sehingga penghuni masih tetap bisa mengontrol interaksinya. Selain itu penghuni lantai atas mempunyai ruang yang lebih terang dan bisamemandang lingkungan yang lebih luas melalui jendelanya daripada penghuni lantai bawah.
D. Pengaruh Kesesakan Pada Perilaku
Pengaruh negative kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan penurunan psikologis, fisiologis dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
Individu yang berada dalam kesesakan akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala gejala psikosomatik dan penyakit penyakit fisik yang serius (Worchel and Cooper, 1983).
Worchel dan Copper (1983) juga mengutip beberapa penelitian yang dilakukan dalam skala kecil, seperti di asrama asrama mahasiswa dan di kampus menunjukkan bahwa klinik kesehatan di kampus lebih banyak di kunjungi oleh mahasiswa mahasiswa yang tinggal di asrama daripada yang tinggal sendiri.
Dari sekian banyak akibat negative kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskan menjadi (1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekankan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain; (2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih; (3) control pribadi yang kurang dan (4) stimulus yang berlebih.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negative pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.
Dapus
Elearning.gunadarma.ac.id
http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-hasnida2.pdf
Cholidah, Lilih; Ancok, Djamaludin; dan Haryanto. 1996. Psikologika Nomor 1 :
Hubungan Kepadatan Dan Kesesakan Dengan Stres Dan Intensi Prososial Pada Remaja Di Pemukiman Padat.
Cowi. 1996. Majalah Kesehatan Perkotaan : Crowding and Health in LowIncome Settlements, Studi Kasus di Jakarta Mei 1993-Juni 1994.Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.
Helmi, Avin Fadilla. 1994. Buletin Psikologi, Tahun II, Nomor 2 : Hidup Di Kota
Semakin Sulit, Bagaimana Strategi Adaptasi Dalam Situasi Kepadatan
Sosial ? Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM.
A. Pengertian Kesesakan
Pengertian kesesakan (crowding) adalah perasaan subyektif individu terhadap keterbatasan ruang yang ada (Holahan, 1982) atau perasaan subyektif karena terlalu banyak orang lain di sekelilingnya (Gifford, 1987). Kesesakan muncul apabila individu berada dalam posisi terkungkung akibat persepsi subyektif keterbatasan ruang, karena dibatasi oleh system konstruksi bangunan rumah dan terlalu banyaknya stimulus yang tidak diinginkan dapat mengurangi kebebasan masingmasing individu, serta interaksi antar individu semakin sering terjadi, tidak terkendali, dan informasi yang diterima sulit dicerna (Cholidah et al., 1996)
Kepadatan memang dapat mengakibatkan kesesakan (crowding), tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Setidaknya ada tiga konsep yang dapat menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, dan teori ecological model (Stokols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain, 1987). Secara teoritis, ketiga konsep tersebut dapat menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Kenyataan bahwa semakin padat suatu kawasan. Maka semakin banyak informasi yang melintas di hadapan penghuni adalah dinamika yang tida terhindarkan. Bila kemudian informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya, maka mulailah timbul masalah-masalah psikologis. Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu dalam berperilaku sehari-hari. Konsep ini berkaitan erat dengan pendekatan ekologis. Prinsipnya, ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi lagi maka lingkungan alam dan lingkungan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah (Sulistyani et al., 1993).
Dalam suasana padat dan sesak, kondisi psikologis yang negatif mudah timbul yang merupakan faktor penunjang yang kuat untuk munculnya stress dan bermacam aktifitas sosial negatif (Wrightsman dan Deaux, 1981). Bentuk ktifitas sosial negatif yang dapat diakibatkan oleh suasana padat dan sesak, antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik maupun psikis, seperti stres, ekanan darah meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2) munculnya patologi 2002 digitized by USU digital library 7 sosial, seperti kejahatan dan kenakalan remaja; 3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, berkurangnya tingkah laku menolong (prososial), dan kecenderungan berprasangka; 4) menurunnya prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung murung (Holahan, 1982).
Menurut Baum et al.(dalam Evans, 1982), peristiwa atau tekanan yang berasal dari lingkungan yang mengancam keberadaan individu dapat menyebabkan stres. Bila individu tidak dapat menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya, maka akan merasa tertekan dan terganggu dalam berinteraksi dengan lingkungan dan kebebasan individu merasa terancam sehingga mudah mengalami stres.
Kawasan padat dan sesak juga menyebabkan individu lebih selektif dalam berhubungan dengan orang lain, terutama dengan orang yang tidak begitu dikenalnya. Tindakan ini dilakukan individu untuk mengurangi stimuli yang tidak diinginkan yang dapat mengurangi kebebasan individu. Tindakan selektif ini memungkinkan menurunnya keinginan seseorang untuk membantu orang lain (intensi prososial). Perilaku prososial adalah perilaku seseorang yang ditujukan pada orang lain dan memberikan keuntungan fisik maupun psikologis bagi yang dikenakan tindakan tersebut. Perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan kerja sama, membagi, menolong, kejujuran, dermawan serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain (Mussen et al., 1979).
Perilaku prososial sangat penting artinya bagi kesiapan seseorang dalam mengarungi kehidupan sosialnya. Karena dengan kemampuan prososial ini seseorang akan lebih diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan berarti kehadirannya bagi orang lain (Cholidah, 1996).
Dalam pendekatan kognitif, pada teori psikologi lingkungan tentang rasa sesak, Stanley Milgram (1970) menyimpulkan bahwa bila orang dihadapkan pada stimulasi yang terlalu banyak, orang akan mengalami beban indera yang berlebihan dan tidak akan dapat menghadapi semua stimulasi itu. Milgram yakin bahwa beban indera yang berlebihan selalu bersifat tidak menyenangkan dan mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi secara tepat (Evans et al., 1996).
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) bahkan kadang kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dlam suatu kesatuan ruang.
Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat factor:
1. karakteristik seting fisik
2. karakteristik seting sosial
3. karakteristik personal
4. kemampuan beradaptasi
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempir dan kesesakan sosial (sosial crowding) yaitu perasaan sesak mula mula dating dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu. Kelompok kecil dan kejadian kejadian interpersonal.
Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai deficit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas.oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Besar kecilnya ukuran rumah menentukan rasio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil rumah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil rasio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak (crowding) (Ancok, 1989).
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas, jadi rangsangan berupa hal hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.
Pendapat lain dating dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
B. Teori kesesakan
Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yangditerimaindividu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1 979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupur. kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti
(a) kondisi lingkuilgatl fisik yang tidak menyenmgkan
(b) jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
(c) suatu percakapan yang tidak dikehendaki
(d) terlalu banyak mitra interaksi
(e) interaksi yang terjadi dirasa terlah dalam atau terlalu lama
Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial. Wicker(l976) mengemukakan teorinya tentang n~anni~lTge.o ri ini berdiri ataspandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana ha1 itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.
Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesaic bila kepadatan atau kcndisi lain yarlg berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis(psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
C. Faktor Pengaruh Kesesakan
Faktor Personal.
a). Kontrol pribadi dan locus of control
b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
c). Jenis Kelamin dan usia
Faktor Sosial
a). Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan ketladiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu banyak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, teman sekamar, dan proses belajar mereka.
b). Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekarnar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yangdisebabkan karena terbentuknyakoalisi di satu pihakdan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford, 1987).
c). Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.
d). Infomasi yang tersedia
Kesesakan jugcl dipengaruhi o!eh jumlah dan beniul; informzsi yang muncul sebeium dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).
Faktor Fisik.
Penelitian yang dilakukan oleh Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) dan DibyoHartono (1986) dalam hubungannya dengan urutan lantai, menemukan bahwa penghuni lantai yang lebih tinggi merasa tidak terlalu sesak daripada penghuni lantai bawah. Hal itu disebabkan karena semakin sedikitnya kehadiran orang asing pada posisi lantai yang lebih tinggi, sehingga penghuni masih tetap bisa mengontrol interaksinya. Selain itu penghuni lantai atas mempunyai ruang yang lebih terang dan bisamemandang lingkungan yang lebih luas melalui jendelanya daripada penghuni lantai bawah.
D. Pengaruh Kesesakan Pada Perilaku
Pengaruh negative kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan penurunan psikologis, fisiologis dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
Individu yang berada dalam kesesakan akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala gejala psikosomatik dan penyakit penyakit fisik yang serius (Worchel and Cooper, 1983).
Worchel dan Copper (1983) juga mengutip beberapa penelitian yang dilakukan dalam skala kecil, seperti di asrama asrama mahasiswa dan di kampus menunjukkan bahwa klinik kesehatan di kampus lebih banyak di kunjungi oleh mahasiswa mahasiswa yang tinggal di asrama daripada yang tinggal sendiri.
Dari sekian banyak akibat negative kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskan menjadi (1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekankan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain; (2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih; (3) control pribadi yang kurang dan (4) stimulus yang berlebih.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negative pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.
Dapus
Elearning.gunadarma.ac.id
http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-hasnida2.pdf
Cholidah, Lilih; Ancok, Djamaludin; dan Haryanto. 1996. Psikologika Nomor 1 :
Hubungan Kepadatan Dan Kesesakan Dengan Stres Dan Intensi Prososial Pada Remaja Di Pemukiman Padat.
Cowi. 1996. Majalah Kesehatan Perkotaan : Crowding and Health in LowIncome Settlements, Studi Kasus di Jakarta Mei 1993-Juni 1994.Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.
Helmi, Avin Fadilla. 1994. Buletin Psikologi, Tahun II, Nomor 2 : Hidup Di Kota
Semakin Sulit, Bagaimana Strategi Adaptasi Dalam Situasi Kepadatan
Sosial ? Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM.
Selasa, 08 Maret 2011
KEPADATAN
A. Pengertian Kepadatan
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari parea ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit riangan (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada disuatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal hal yang negative akibat dari kepadatan.
Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresivitas pada anak anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung), bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama dan tolong menolong sesame anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.
Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negative kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga beraksi lebih negative terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.
Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating. 1979; Stokols dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinterkasi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1979) antara kepadatan dan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
B. Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggalm, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dinpengaruhi oleh unsure unsure yaitu jumlah individu pada setiap ruang,. Jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang dan kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningjat sejalan dengan bertambahnya individu. Altsman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Taylor (dalam Gifford, 1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang disuatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukan sikap dan perilaku yang berbeda pula.
C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
Akibat secara psikis antara lain:
a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stes (Jain 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya
Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) factor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur social dan lain lain akan menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk, 1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadii apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan karena mereka umumnya mampu “mengendalikan” rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.
Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo, 1991) terungkap bahwa komunitas tradisional etnis Cina di Hongkong, Singapura dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideology nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus dibawah satu atap yang sama , telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara suara bising dari anak anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari Negara Negara timur tidak segan untuk menyewakan kamar di dalam rumahnya, untuk memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interkasi social.
Gambaran lain diungkapkan oleh Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negative yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku social, pembunuhan, perkosaan dan tindak criminal lainnya. Sementara itu, di Jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000 orang/Ha pada bagian kota kota tertentu ternyata angka kejahatan/ criminal disana masih lebih rendah.
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari parea ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit riangan (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada disuatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal hal yang negative akibat dari kepadatan.
Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresivitas pada anak anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung), bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama dan tolong menolong sesame anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.
Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negative kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga beraksi lebih negative terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.
Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating. 1979; Stokols dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinterkasi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1979) antara kepadatan dan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
B. Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggalm, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dinpengaruhi oleh unsure unsure yaitu jumlah individu pada setiap ruang,. Jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang dan kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningjat sejalan dengan bertambahnya individu. Altsman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Taylor (dalam Gifford, 1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang disuatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukan sikap dan perilaku yang berbeda pula.
C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
Akibat secara psikis antara lain:
a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stes (Jain 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya
Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) factor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur social dan lain lain akan menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk, 1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadii apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan karena mereka umumnya mampu “mengendalikan” rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.
Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo, 1991) terungkap bahwa komunitas tradisional etnis Cina di Hongkong, Singapura dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideology nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus dibawah satu atap yang sama , telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara suara bising dari anak anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari Negara Negara timur tidak segan untuk menyewakan kamar di dalam rumahnya, untuk memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interkasi social.
Gambaran lain diungkapkan oleh Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negative yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku social, pembunuhan, perkosaan dan tindak criminal lainnya. Sementara itu, di Jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000 orang/Ha pada bagian kota kota tertentu ternyata angka kejahatan/ criminal disana masih lebih rendah.
Langganan:
Postingan (Atom)